1.multiple inteligences
2. grammar translation method (GTM)
3. whole language
4.audio lingual method
5.self-directed learning
6. direct method
7. content based instructions
8. competency based language teaching
9.community language teaching
10. community language learning
11. contextual teaching learning
12. cooperative learning
13. inquiry based learning
14. lexical approach
15. sustained silent reading
16. task based instructions
17. total physical response
18.project based learning
19.silent way
20. suggestopedia
21. participatory approach
22. problem based learning
23. neurolinguistics programming
24. learning strategy trainning
25. natural approach
26. blended learning
EXPLAINATION=)
METODE PENGAJARAN BAHASA INGGRIS
I.
GRAMMAR TRANSLATION METHOD
Pada
awal nya metode ini dinamakan Classical
Method karena metode ini pertama kali digunakan dalam mengajarkan bahasa-bahasa
klasik, Latin dan Greek (Chastain 1988). Kini, metode ini digunakan sebagai
tujuan untuk menolong siswa membaca dan mengapersiasi literatur bahasa asing.
Metode ini juga diharapkan, melalui pembelajaran grammar dari bahasa asing,
siswa menjadi familiar dengan grammar bahasanya sendiri dan kefamiliaran ini
akan menolongnya untuk berbicara dan menulis bahasanya sendiri dengan benar.
Akhirnya, metode pengajaran ini akan membuat siswa tumbuh secara intelektual;
metode pengajaran ini juga akan membuat siswa mungkin tidak pernah menggunakan
bahasa yang asing yang dipelajari, tetapi latihan-latihan di dalam metode ini
akan sangat berguna kedepannya.
Tujuan
Penggunaan GTM
Menurut
guru yang mengunakan Grammar-tanslation Method, tujuan fundamental dari
pengajaran sebuah bahasa asing adalah untuk bisa membaca literatur tertulis
dari bahasa tersebut. Untuk melakukannya, siswa membutuhkan belajar tentang
peraturan grammar dan vocabulary atau kosakata dari bahasa asing tersebut.
Peran
Guru dan Siswa Dalam GTM
Peran
pada metode ini sangat tradisional. Peran guru adalah sebagai pemegang
kekuasaan di kelas. Dan peran siswa hanya menuruti apa yang guru ajarkan, siswa
melakukan apa yang yang guru katakan, siswa belajar apa yang pengajar tahu.
Karakteristik
Proses Pembelajaran Dalam GTM
Siswa
disuruh untuk mengartikan teks dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Seringnya
apa yang mereka artikan adalah bacaan-bacaan dari bahasa asing yang dipelajari
tentang beberapa aspek kebudayaan dari komunitas atau pengguna asli bahasa
asing tersebut. Pelajar atau siswa belajar grammar secara deduktif, yaitu
pengajar memberi peraturan-peraturan grammar dan contohnya, kemudian siswa
disuruh untuk menghafalnya, dan kemudian disuruh untuk menggunakan peraturan
tersebut ke contoh yang lain. Siswa juga belajar paradigma-paradigma dalam
grammar seperti noun, verb, adverb, dan lain sebagainya. Siswa menghafal
padanan kata dari bahasa aslinya sendiri dengan kosakata dari bahasa asing yang
dipelajari.
Interaksi
Guru-siswa Dalam GTM
Kebanyakan
interaksi yang terjadi di ruangan kelas adalah antara guru terhadap siswa.
Sedangkan interaksi siswa terhadap guru dan interaksi sesama siswa sangat
minim.
Language
Skill Dalam GTM
Vocabulary
dan grammar sangat ditekankan sekali dalam metode ini. Reading dan writing
adalah primary skill atau kemampuan utama yang siswa lakukan. Terdapat sedikit
perhatian yang tertuju pada speaking dan listening, begitu juga terhadap
pronunciation.
Evaluasi
Dalam GTM
Test
tertulis sering digunakan untuk mengevaluasi siswa dengan mengartikan bahasa
asing yang dipelajari ke bahasa aslinya sendiri atau sebaliknya. Pertanyaan yang
menyangkut peraturan grammar dair bahasa asing yang dipelajari atau bahasa asli
siswa juga sering dijumpai.
II. DIRECT METHOD
Metode
ini mempunyai tujuan instruksional bahwa pembelajaran bahasa asing ditujukan
agar bisa berkomunikasi. Sejak grammar translation method tidak sangat efektif
dalam menyiapkan siswa untuk mengguanakan bahasa yang dipelajari (target
lanugage) secara komunikatif, Direct Method menjadi sangat populer.
Direct
Method memiliki satu peraturan dasar yaitu tidak diperbolehkannya jenis terjemahan.
Asal kata Direct Method faktanya karena pengajaran bahasa jika dengan
menggunakan metode ini disampaikan secara langsung (direct) dengan bantuan
visual tanpa adanya penggunaan bahasa asal (native language) siswa.
Tujuan
Penggunaan Direct Method
Guru
yang menggunakan Direct Method menginginkan siswanya belajar bagaimana
berkomunikasi dengan mengguanakan bahasa yang dipelajari (target language).
Agar harapan itu terwujud, siswa haru belajar berfikir mengguankan bahasa yang
dipelajari (target language) dengan tidak diperbolehkannya bahasa asil (native
language) muncul selama pelajaran.
Peran
Guru-siswa Dalam Direct Method
Walaupun
peran guru pada metode ini adalah sebagai 'director' kelas, peran siswa lebih
aktif jika dibandingkan pada Grammar Tranlation Method.
Guru dan siswa lebih seperti partners dalam preose pembelajaran/ pengajaran.
Karakteristik
Proses Pembelajaran Dalam Direct Method
Guru
yang menggunakan metode ini memaksa siswa untuk memahami arti dari bahasa
sasaran (target language) secara langsung. Untuk melakukannya, ketika guru
mengenalkan sebuah kata atau phrase bahasa sasaran, guru mendemonstrasikan
artinya melalui penggunaan realia, gamba, atau pantomim; guru tidak boleh
mengartikannya secara langusung ke bahasa asli (native language) siswa.
Interaksi Guru-siswa Dalam Direct Method
Interaksi
antara guru dengan siswa berjalan dari dua arah, baik dari guru ke siswa atau
dari siswa ke guru, tetapi kebanyakan interaksi berjalan dari guru ke siswa.
Interaksi antar siswa juga banyak terjadi dalam metode ini.
Language
Skill Dalam Direct Method
Vocabulary
sangat ditekankan melebihi grammar. Meskipun metode ini dapat berkerja pada
semua basic skills bahasa Inggris seperti reading, writing, speaking, dan
listening dari awal pembelajaran, tetapi komunikasi secara lisan dilihat
sebagai basic skill. Pronunciation juga mendapatkan tempat dalam metode ini,
dari awal pembelajaran hingga akhir pembelajaran.
Evaluasi
Dalam Direct Method
Formal
evaluation tidak begitu banyak dijumpai dalam metode ini, tatapi dalam Direct
Method, siswa diminta untuk menggunakan target language bukan untuk menjelaskan
pengetahuan mereka tentang target language. Siswa diminta untuk menggunkan
target language baik secara lisan atau tulisan. Sebagai contoh evaluasi dalam
metode ini, siswa mungkin diwawancarai secara langsung oleh guru atau mungkin
diminta untuk menuliskan secara langsung sebuah paragraph tentang sesuatu yang
telah mereka pelajari.
III.
METODE AUDIO-LINGUAL
1.
Pengertian Metode Audio-Lingual
Pada dasarnya metode Audio-Lingual hampir sama dengan metode
lainnya. Adapun metode yang muncul sebelum metode ini adalah metode Direct (Direct
Method). The Audio-Lingual method is the method which focuses in
repetition some words to memorize.
Audio-Lingual method is a method which use drills and
pattern practice in teaching language.
Adapun
Jill Kerper Mora dari San Diego University menyebutkan:
"This method26 is based on the principles of behavior
psychology. It adapted many of the principles and procedures of the Direct
Method, in part as a reaction to the lack of speaking skills of the Reading
Approach"
Metode
Audio-Lingual ini merupakan sebuah metode yang pelaksanaannya terfokus pada
kegiatan latihan, drill, menghafal kosa kata, dialog, teks bacaan. Adapun dalam
praktiknya siswa diajak belajar (dalam hal ini bahasa Inggris secara langsung)
tanpa harus mendatangkan native language
Dasar
dan prosedur pengajaran dalam metode ini juga banyak diambil dari metode yang
telah ada sebelumnya yaitu metode langsung (Direct Method). Selain itu,
tujuan Audio-Lingual pun juga tidak berbeda dengan Direct Method yaitu untuk
menciptakan kompetensi komunikatif dalam diri siswa.
Sebagaimana diketahui, pengucapan (pronunciation),
susunan serta aspekaspek lain antara bahasa asing dan bahasa ibu sangatlah
berbeda. Oleh karenanya, dalam pembelajaran bahasa asing (dalam hal ini bahasa
Inggris) para siswa diharuskan mengucapkan dan atau membaca berulang-ulang kata
demi kata yang diberikan oleh guru agar sebisa mungkin tidak terpengaruh dengan
bahasa ibu.
Pengulangan-pengulangan yang dilakukan lama-kelamaan akan
menjadi sebuah kebiasaan (habit). Begitu juga dalam hal melafalkan
kata-kata bahasa asing (bahasa Inggris), jika hal tersebut sudah menjadi
kebiasaan, siswa akan secara otomatis dan refleks dapat melakukannya. Sehingga
dalam pelaksanaannya, agar usaha tersebut dapat berjalan lancar maka diperlukan
memerlukan keseriusan baik dari guru maupun siswa.
2.
Teknik Pengajaran yang Digunakan dalam Metode Audio-Lingual
Teknik pengajaran yang digunakan dalam metode Audio-Lingual
adalah sebagai berikut:
a.
Menghafal Dialog (Dialog Memorization)
Dalam teknik ini siswa menghafalkan dialog atau percakapan
pendek antara dua orang pada awal pelajaran. Dalam praktiknya siswa memerankan
satu orang peran dalam dialog, sedangkan guru memerankan tokoh pasangannya.
Setelah siswa belajar percakapan atau dialog dari satu tokoh, guru dan siswa
berganti peran. Kemudian siswa menghafalkan dialog baru. Cara lainnya yang bisa
digunakan adalah dengan membagi siswa menjadi dua kelompok. Masing-masing
kelompok memerankan satu peran dan menghafalkan dialog tersebut. Setelah
masing-masing kelompok mampu menghafalkan dialog, mereka diminta untuk untuk
berganti peran. Setelah seluruh siswa hafal dialog, guru meminta siswa untuk
mempraktikkan dialog secara berpasangan di depan kelas.
b.
Backward Bulld-up (Expansion) Drill
Drill digunakan ketika siswa mengalami kesulitan dalam
menghafalkan dialog panjang. Caranya adalah guru membagi dialog panjang menjadi
beberapa potong bagian. Guru pertmama kali memberikan contoh kemudian siswa
menirukan bagian kalimat (bisaanya pada frasa akhir).
Contoh:
Guru : It is a beautiful scenery
Guru : It is a beautiful ………
Siswa : It is a beautiful scenery
c.
Repetition Drill
Siswa diminta untuk menirukan guru seakurat dan secepat
mungkin.
Contoh:
Guru : This is the seventh month
Siswa : This is the seventh month
d.
Chain Drill
Drill ini dilakukan dengan cara meminta siswa untuk duduk
melingkar di dalam ruangan, kemudian satu persatu siswa bertanya dan menjawab
pertanyaan. Guru memulai drill ini dengan dengan menyapa atau bertanya pada
salah satu siswa. Kemudian siswa tersebut menjawab pertanyaan tadi, kemudian ia
bertanya pada teman di sampingnya. Siswa yang ditanya tadi kemudian menjawab
dan bertanya lagi kepada teman di sampingnya, begitu seterusnya.
e.
Single Slot Subtitution
Guru membaca satu baris dari dialog, kemudian siswa
mengucapkan satu kata atau kelompok kata. Siswa diminta untuk menirukan dengan
cara memasukkan kata atau kelompok kata tersebut secara tepat ke dalam bait
dialog tadi.
Contoh:
Guru : I know Him. (Hardly)
Siswa
: I hardly know him
f.
Multiple Slot Subtitution Drill
Drill ini sama dengan drill single slot substitution, tapi
lebih luas. Tidak hanya satu bait dialog, akan tetapi satu dialog penuh.
g.
Transformational Drill
Guru memberi siswa kalimat, kemudian siswa diminta untuk
merubah kalimat tersebut menjadi bentuk yang berbeda seperti: interrogatif,
negatif, positif, pasif, imperative dan sebagainya.
h.
Question and Answer Drill
Drill model ini melatih siswa menajwab pertanyaan dengan
tepat.
i.
Use Minimal Pairs
Guru menggunakan pasangan kata yang berbeda satu bunyi,
misal: ship dan sheep. Siswa diminta untuk menemukan perbedaan dua kata
tersebut, kemudian berlatih untuk mengucapkan kata tersebut dengan benar.
j.
Complete the Dialog
Beberapa kata dalam sebuah dialog dihapus, kemudian siswa
diminta untuk melengkapi dialog tersebut
k.
Grammar Game
Game ini mirip dengan game supermarket alphabet, didesain
untuk melatih grammar siswa dalam suatu konteks. Dengan begitu siswa bias
mengekspresikan dirinya sendiri, walaupun dalam porsi yang terbatas.
Dari berbagai teknik yang disebutkan di atas dapat
disimpulkan dalam pelaksanaan metode Audio-Lingual seorang guru akan memberi
contoh tentang model yang benar, dalam hal ini melafalkan (pronounce)
dan bagaimana melafalkan (how to pronounce) sebuah kalimat dan siswa
harus menirukan. Kemudian dalam kesempatan lain guru akan melanjutkan dengan
mengenalkan kata-kata baru dengan struktur kata yang sama. Pokok dari metode
ini dan kaitannya dengan pembelajaran pronunciation adalah bagaimana
melatih siswa untuk terus berlatih melafalkan dengan benar sampai mereka dapat
melakukannya secara spontan. Oleh karena itu seperti telah dijelaskan di awal,
siswa hanya diberi kosakata secukupnya (khususnya yang sering dipakai dalam
kehidupan sehari-hari) agar pelaksanaan metode ini dapat berjalan dengan
lancar.
3.
Penerapan Metode Audio-Lingual
Metode Audio-Lingual sangat mengutamakan drill. Metode ini
muncul karena terlalu lamanya waktu yang ditempuh dalam bahasa dan target.
Padahal,untuk kepentingan tertentu, perlu penguasaan bahasa dengan cepat
misalnya perang, kunjungan dan seterusnya. Dalam Audio-Lingual yang berdasarkan
pendekatan struktural itu, bahasa yang diajarkan dicurahkan pada lafal kata dan
pelatihan berkali-kali secara intensif pada pola-pola kalimat. Guru dapat
memaksa siswa untuk mengulang sampai tanpa kesalahan.
a.
Langkah-langkah Pembelajaran dalam Metode Audio-Lingual
Di dalam metode Audio-Lingual terdapat beberapa langkah yang
biasa dilakukan dalam proses pembelajaran. Adapun langkah-langkah tersebut
antara lain adalah:
Adapun
langkah-langkah yang bisaa dilakukan adalah:
a) Penyajian teks dialog atau teks
pendek yang dibacakan guru berulang-ulang dan siswa menyimak tanpa melihat teks
yang dibaca.
b) Peniruan dan penghafalan teks itu
secara serentak dan siswa menghafalkannya.
c) Penyajian kalimat dilatih dengan
pengulangan.
d) Dramatisasi dialog atau teks yang
dilatihkan kemudian siswa memperagakan di depan kelas.
e) Pembentukan kalimat lain yang
sesuai dengan yang dilatihkan.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya metode ini
memberikan perhatian utama kepada kegiatan latihan, drill, menghafal kosa kata,
dialog, teks bacaan, dan pada sisi lain lebih mengutamakan bentuk luar bahasa
(pola, struktur, kaidah) dari pada kandungan isinya, dan mengutamakan kesahihan
dan akurasi dari kemampuan siswa untuk berinteraksi dan berkomunikasi.
Penerapan metode ini hampir sama dengan penerapan pengajaran
bahasa pertama pada anak-anak, anak-anak menguasai bahasa ibunya melalui
peniruan. Peniruan itu biasanya diikuti oleh pujian atau perbaikan. Melalui
kegiatan itulah anak-anak mengembangkan pengetahuannya mengenai struktur, pola
kebiasaan bahasa ibunya. Maka hal yang sama juga dapat diberlakukan dalam
pengajaran bahasa kedua atau bahasa asing. Melalui cara peniruan dan penguatan,
para siswa mengidentifikasi hubungan antara stimulus dan responsi yang
merupakan kebiasaan dalam berbahasa kedua atau bahasa asing.
b.
Evaluasi Metode Audio-Lingual
Sebagaimana telah dijelaskan di awal bahwasanya penelitian
ini dikhususkan pada pembahasan penggunaan metode Audio-Lingual dalam
pembelajaran pronunciation. Adapun dalam metode Audio-Lingual sendiri
tidak disebutkan secara jelas tentang evaluasinya. Satu hal yang dikemukakan
adalah jika diselenggarakan tes maka masing-masing pertanyaan akan difokuskan
pada point apa yang dipelajari pada saat itu (adapun
dalam hal ini adalah pronunciation).
Dalam penelitian ini peneliti memberikan oral test untuk
mengukur peningkatan pronunciation siswa. Selain itu, karena penelitian
ini dimaksudkan untuk mengetahui peningakatan pronunciation siswa maka
peneliti akan melakukan penilaian pada kemampuan untuk melafalkan (skill
to pronounce). Adapaun hal-hal yang dinilai meliputi sounds
(mendiskriminasikan bunyi), ritme dan penekanan (rythm and word stress),
intonasi (intonation) dan kelancaran (fluency).
5.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Audio-Lingual
Metode Audio-Lingual memiliki kelebihan dan juga memiliki
kekurangan di sisi lainnya. Adapun kelebihan dari metode ini antara lain
adalah:[11]
a. Audio-Lingual mungkin
merupakan teori pengajaran bahasa pertama yang secara terbuka mengklaim
terbentuk dari gabungan linguistik dan psikologi.
b. Metode Audio-Lingual mencoba
membuat pembelajaran bahasa menjadi lebih mudah diakses oleh pembelajar dalam
jumlah besar (kelas besar). Hal tersebut menyebabkan partisipasi pembelajar
melalui teknik drill dapat dimaksimalkan.
c. Secara positif drill dapat
membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan oralnya.
d. Teknik pengajaran dalam metode
Audio-Lingual dengan menggunakan tape recording dan laboratorium bahasa
menawarkan latihan kecakapan berbicara dan mendengar yang merupakan hal paling
penting dalam pembelajaran bahasa. Pola-pola drill memberikan siswa lebih
banyak latihan.
e. Metode Audio-Lingual
mengembangkan kemampuan berbahasa ke dalam "peralatan pedagogig"
yaitu mendengar (menyimak), membaca dan menulis. Metode Audio-Lingual secara
spesifik memperkenalkan desain teknik pendengaran (listening) dan latihan oral
(speaking). Hal tersebut menunjukkan kesuksesan dalam mengembangkan pemahaman
aural (listening) dan kelancaran berbicara (speaking).
Sedangkan
kekurangan dalam metode Audio-Lingual antara lain adalah:
a. Teknik yang digunakan dalam
metode Audio-Lingual seperti drill, penghafalan, dan lain sebagainya mungkin
bisa membuat bahasa menjadi sebuah kelakuan (kebisaaan), tetapi hal tersebut
tidak menghaslikan kompetensi yang diharapkan.
b. Dengan metode Audio-Lingual
mungkin guru akan mengeluhkan tentang banyaknya waktu yang dibutuhkan (lama),
dan para siswa akan mengeluh tentang kebosanan yang disebabkan oleh pola drill
yang terus-menerus digunakan.
c. Peran dan keaktifan guru
merupakan hal yang penting dalam metode Audio-Lingual, jadi guru lebih banyak
mendominasi kelas.
Adapun
menurut Roestiyah kelemahan suatu metode atau teknik pembelajaran yang
menggunakan drill adalah sebagai berikut:
a. Sering terjadi cara-cara
atau gerak yang tidak dapat berubah, karena merupakan cara yang telah
dibakukan, maka hal tersebut dapat menghambat bakat dan inisiatif siswa.
b. Para siswa tidak boleh
menggunakan cara lain atau cara menurut pikirannya sendiri.
c. Keterampilan yang diperoleh
siswa umumnya juga menetap/paati, yang akan merupakan kebiasaan kaku/keterampilan
yang salah.
d. Suatu latihan yang dijalankan
dengan cara tertentu yang telah dianggap baik dan tepat; sehingga tidak boleh
diubah; mengakibatkan keterampilan yang diperoleh siswa umumnya juga
menetap/pasti, yang akan merupakan kebiasaan yang kaku; atau keterampilan yang
salah.
Sehingga, jika situasi berubah siswa akan sukar sekali
menyesuaikan diri atau tidak bisa mengubah caranya latihan untuk mengatasi
keadaan yang lain itu.
Masih menurut Roestiyah, agar latihan tersebut dapat
berhasil, instruktur perlu memilki cara/teknik lain yang menunjang teknik
latihan tersebut, sehingga kelemahannya bisa disempurnakan/dilengkapi dengan
teknik lain.
IV.
SUGESTOPEDIA
Sugestopedia adalah metode pengajaran, yang berfokus pada bagaimana
menangani hubungan antara potensi mental dan efektivitas belajar dan sangat
tepat untuk digunakan dalam berbicara pengajaran bagi pembelajar bahasa muda
(Xue, 2005. Metode ini diperkenalkan oleh seorang psikolog dan pendidik
Bulgaria, George Lazanov pada tahun 1975 Maleki (2005) percaya bahwa kita mampu
belajar lebih banyak dari yang kita pikirkan, asalkan kita menggunakan kekuatan
otak kita dan kapasitas batin. Selain itu, DePorter (2008) diasumsikan bahwa
otak manusia dapat memproses jumlah besar bahan jika diberikan kondisi yang
tepat untuk belajar dalam keadaan relaksasi dan menyatakan bahwa sebagian besar
siswa hanya menggunakan 5 sampai 10 persen dari kapasitas mental
mereka. Lazanov dibuat Sugestopedia untuk belajar yang memanfaatkan keadaan
rileks pikiran untuk bahan retensi maksimum. Dengan menggunakan semacam ini
methof, YLLs bisa mendapatkan menghafal 25 kali lebih cepat daripada metode
konvensional (Bowen, 2009).
Sugestopedia adalah metode input yang efektif berbasis dipahami dengan
kombinasi desuggestion dan saran untuk mencapai pembelajaran super. Tujuan yang paling penting
dari Sugestopedia adalah untuk memotivasi lebih banyak potensi mental siswa
untuk belajar dan yang diperoleh dengan sugesti. Desuggestion berarti bongkar
bank memori, atau cadangan, kenangan yang tidak diinginkan atau memblokir.
Saran maka berarti loading bank memori dengan kenangan yang diinginkan dan
memfasilitasi.
Lazanov (1978) dikutip dalam Lica (2008) berpendapat bahwa peserta didik
memiliki kesulitan dalam memperoleh bahasa Inggris sebagai bahasa kedua karena
takut para siswa untuk membuat kesalahan. Ketika peserta didik berada dalam
kondisi ini, jantung dan meningkatkan tekanan darah. Ia percaya bahwa ada mental block dalam
otak peserta didik '(filter afektif). Ini blok filter input, sehingga peserta
didik mengalami kesulitan untuk menguasai bahasa yang disebabkan oleh ketakutan
mereka. Kombinasi desuggestion dan saran adalah untuk menurunkan filter afektif
dan memotivasi potensi mental siswa untuk belajar, yang bertujuan untuk
mempercepat proses dimana mereka belajar untuk memahami dan menggunakan bahasa
target untuk komunikasi untuk mencapai pembelajaran super. Ini adalah tujuan
akhir dari Sugestopedia
Richard dan Rogers
(1998) menyatakan bahwa ada beberapa komponen teori di mana desuggestion dan
saran beroperasi:
Key Features of
Suggestopedia: Fitur utama dari Sugestopedia:
Comfortable environment
( Lingkungan nyaman )
Dalam jenis metode
pengajaran, kelas ini sangat berbeda dari kelas umum. Di dalam kelas,
kursi-kursi diatur setengah lingkaran dan menghadap papan hitam atau putih
untuk membuat siswa lebih memperhatikan dan lebih santai. Lampu di dalam kelas
redup untuk membuat pikiran siswa lebih santai (Xue, 2005).
Penggunaan musik
Salah satu keunikan
yang paling dari metode ini adalah penggunaan musik Barok selama proses
belajar. Ostrander dan Schroeder dikutip dalam Harmer (1998) mengatakan bahwa
musik Barok, dengan 60 ketukan per menit dan irama yang spesifik, menciptakan
semacam keadaan rileks pikiran untuk retensi maksimum dari bahan . Hal ini
diyakini bahwa musik Barok menciptakan tingkat konsentrasi santai yang
memfasilitasi asupan dan retensi dalam jumlah besar bahan. Barok musik membantu
siswa sugestopedia untuk mencapai negara tertentu relaksasi, di mana penerimaan
meningkat (Radle, 2008 Peningkatan potensi belajar dimasukkan ke peningkatan
otak alfa dan penurunan preasure darah dan denyut jantung. Musik yang digunakan
juga tergantung pada keterampilan yang diharapkan dari siswa: tata bahasa,
latihan imajinasi, membuat rencana masa depan, diskusi, dll
Peripheral Learning
Para siswa memperoleh
bahasa Inggris tidak hanya dari instruksi langsung tetapi juga dari instruksi
langsung. Hal ini didorong melalui kehadiran dalam lingkungan belajar poster
dan dekorasi yang menampilkan bahasa target dan informasi gramatikal berbagai.
Dengan melakukan ini, siswa bisa belajar banyak hal undirectly di kelas atau
ruang kelas di luar. Misalnya, YLLs dapat membuat produksi lisan sederhana
dengan menggunakan poster atau informasi gramatikal di dinding.
Free Errors
Dalam proses belajar
mengajar berbicara,. Penekanannya adalah pada konten tidak strukturTata bahasa
dan kosakata disajikan dan diberikan pengobatan dari guru, tetapi tidak tinggal
di.
Homework is limited PR
terbatas
YLLs membaca ulang
materi yang diberikan di kelas sekali sebelum mereka pergi tidur di malam hari
dan sekali di pagi hari sebelum mereka bangun.
Musik, drama dan seni
yang terintegrasi dalam proses pembelajaran
Mereka terintegrasi
sesering mungkin
Suggestopedia in the
Classroom Sugestopedia di dalam Kelas
Pengajaran berbicara
untuk YLLs menggunakan Sugestopedia, guru harus mengambil tiga langkah
(Lazanov, 1982) dikutip dalam Xue (2005):
Presentasi
Presentasi adalah dasar dari melakukan Sugestopedia di kelas berhasil. Tujuan utama dalam tahap ini adalah untuk membantu siswa santai dan pindah ke kerangka berpikir positif, dengan perasaan bahwa belajar akan menjadi mudah dan lucu. Desuggestion dan saran terjadi pada tahap ini pada waktu yang sama.
Presentasi adalah dasar dari melakukan Sugestopedia di kelas berhasil. Tujuan utama dalam tahap ini adalah untuk membantu siswa santai dan pindah ke kerangka berpikir positif, dengan perasaan bahwa belajar akan menjadi mudah dan lucu. Desuggestion dan saran terjadi pada tahap ini pada waktu yang sama.
The first concert
Hal ini melibatkan
presentasi aktif dari material yang akan dipelajari. Bentuk asli dari
Sugestopedia disajikan oleh Lozanov terdiri dari penggunaan dialog
diperpanjang, sering beberapa halaman panjang, disertai dengan daftar kosakata
dan pengamatan pada poin tata bahasa. Biasanya dialog ini akan dibaca
keras-keras untuk YLLs dengan iringan musik.
Second Concert Kedua
Konser
. Para siswa sekarang
dibimbing untuk rileks dan mendengarkan beberapa musik Barok Pilihan terbaik
dari musik sesuai dengan Lozanov, dengan teks yang sedang dipelajari sangat
tenang di latar belakang. Selama kedua jenis membaca, pembelajar akan duduk di
kursi yang nyaman, kursi daripada kursi-kursi kelas, dalam lingkungan yang
nyaman. Setelah pembacaan ini dialog yang panjang dengan iringan musik, guru
akan memanfaatkan dialog untuk pekerjaan bahasa yang lebih konvensional. Musik
membawa siswa ke dalam kondisi mental yang optimal untuk akuisisi usaha material.
Para siswa, kemudian, membuat dan praktik dialog setelah mereka menghafal isi
material.
Praktek
Penggunaan berbagai
permainan peran, permainan, teka-teki, dll untuk meninjau dan
mengkonsolidasikan pembelajaran. Berikut adalah contoh berbicara mengajar
menggunakan memainkan peran:
Guru menyapa siswa
dengan bahasa Inggris atau bahasa asli mereka dan mengatakan kepada mereka
bahwa mereka akan memiliki pengalaman baru dan menarik dalam pembelajaran
bahasa.
Guru meminta siswa
untuk menutup mata mereka dan memberitahu mereka bahwa mereka akan pergi ke
negara yang berbahasa Inggris. Misalnya, mereka berada di bandara.
"Sekarang, Anda berada di bandara Amerika, mendengarkan orang-orang di
sekitar Anda Mereka berbicara dengan pejabat imigrasi ", kata guru itu.
Guru meminta mereka untuk membuka mata mereka dan membawa kesadaran mereka ke
kelas. Dia mengatakan, "Selamat datang ke Inggris!".
Kemudian, guru
mengatakan kepada mereka bahwa mereka akan memiliki nama baru dan identitas
dengan menunjukkan poster menampilkan nama-nama bahasa Inggris. Para siswa akan
mengucapkan nama dengan mengulangi guru. Guru membantu mereka dengan melakukan
pantomim untuk membantu mereka memahami tentang identitas baru mereka seperti
dokter, perawat, polisi, dll
nt using his name and
ask some questions in English about his occupation. Guru menyapa setiap siswa
menggunakan nama dan mengajukan beberapa pertanyaan dalam bahasa Inggris
tentang pekerjaannya.. Melalui tindakannya, para siswa memahami makna dan
mereka menjawab 'ya' dan tidak'.
Guru mengajarkan
mereka sebuah dialog singkat tentang ucapan dalam bahasa Inggris Setelah itu,
siswa akan praktek. Guru memberitahu siswa bahwa mereka sedang mengadakan pesta
dan mereka harus memperkenalkan satu sama lain dengan nama baru mereka dan
identitas.
Selanjutnya, guru
mengumumkan bahwa kelas selesai dan mereka akan memiliki kegiatan lain yang
menarik besok dan mereka tidak memiliki pekerjaan rumah.
Keuntungan
Sebagai metode
tertentu, Sugestopedia menawarkan beberapa manfaat untuk digunakan dalam ruang
kelas bahasa kedua untuk YLLs. Ada beberapa manfaat dalam menggunakan
Sugestopedia:
Sebuah masukan
comprehesible berdasarkan dessugestion dan prinsip saran
Dengan menggunakan
metode pengajaran, YLLs dapat menurunkan filter afektif mereka Sugestopedia
kelas, di samping itu, diadakan di kamar biasa dengan kursi yang nyaman, sebuah
praktik yang juga dapat membantu mereka rileks Guru dapat melakukan banyak
hal-hal lain untuk menurunkan filter afektif. Menurut Kharsen (1989) dikutip dalam
Xue (2005) kegiatan yang memungkinkan siswa untuk mendapatkan lebih mengenal
satu sama lain dapat membantu kecemasan lebih rendah dan membuat siswa untuk
mengadopsi nama baru untuk durasi kursus bahasa mungkin memiliki efek yang
sama.
Konsep Otoritas
Siswa ingat terbaik dan
yang paling dipengaruhi oleh informasi yang datang dari sumber otoritatif,
guru.
Double-planedness teori
Hal ini mengacu pada
belajar dari dua aspek. Mereka adalah aspek sadar dan satu bawah sadar. YLLs
dapat memperoleh tujuan instruksi pengajaran dari kedua instruksi langsung dan
lingkungan di mana mengajar berlangsung.
Peripheral belajar
Sugestopedia mendorong
siswa untuk menerapkan bahasa yang lebih mandiri, mengambil tanggung jawab
lebih pribadi untuk belajar mereka sendiri dan mendapatkan lebih percaya diri.
Informasi perifer juga dapat membantu mendorong siswa untuk menjadi lebih
eksperimental, dan melihat ke sumber-sumber selain guru untuk masukan bahasa.
Sebagai contoh, siswa dapat membuat beberapa kalimat dengan menggunakan
struktur gramatikal ditempatkan di dinding ruang kelas itu, menggambarkan
tempat tertentu dalam suatu negara berbahasa Inggris dengan melihat poster di
dinding, dll Ketika para siswa berhasil dalam melakukan self-kegiatan , mereka
akan lebih percaya diri.
Kekurangan
Hal ini tidak adil
untuk menganalisis hanya dari aspek manfaat Sugestopedia juga memiliki
keterbatasan karena tidak ada metode pengajaran tunggal yang chategorized
sebagai yang terbaik didasarkan pada beberapa pertimbangan seperti: kurikulum,
motivasi siswa, keterbatasan keuangan, jumlah siswa, dll
: Kelemahan utama dari Sugestopedia adalah sebagai berikut:
Lingkungan pembatasan
Sebagian besar sekolah
di negara-negara Each class consists of 30 to 40 students. Setiap kelas terdiri
dari 30 sampai 40 siswa. Salah satu masalah yang dihadapi dalam menggunakan
metode ini adalah jumlah siswa di kelas. Harus ada 12 siswa di kelas (Adamson,
1997).
Penggunaan hipnosis
Beberapa orang
mengatakan bahwa Sugestopedia menggunakan hipnosis, sehingga memiliki efek yang
mendalam buruk bagi manusia. Lazanov membantah keras tentang hal itu.
Infantilization belajar
Sugestopedia kelas
dikondisikan menjadi anak-seperti situasi. Ada beberapa siswa yang tidak suka
diperlakukan seperti ini karena mereka berpikir bahwa Thay dewasa.
Menggunakan
Sugestopedia tidak mudah terutama di negara-negara di mana tingkat pendidikan
masih rendah. Ini membutuhkan guru yang profesional dan berpengalaman. Sangat
sedikit guru yang bekerja berada dalam posisi di mana mereka dapat menggunakan
sistem ini (Adamson, 1997). Para guru harus mengambil lebih banyak pelatihan
dalam rangka pemanfaatan Sugestopedia di dalam kelas. Richards dan Rogers
(1998) dikutip dalam Xue (2005) menyatakan bahwa dalam melakukan Sugestopedia
untuk YLLs, ada beberapa saran:
(1) Guru menunjukkan
kepercayaan mutlak dalam metode.
(2) Guru
menampilkan perilaku pemilih dalam perilaku dan pakaian.
(3) Mengajar
mengatur dengan benar dan ketat mengamati tahap awal dari proses pengajaran.
Ini termasuk pilihan dan memutar musik, serta ketepatan waktu.
(4) Guru memelihara
sikap serius terhadap sesi.
(5) Guru memberikan tes
dan merespon dengan bijaksana ke kertas miskin (jika ada).
(6) Stres global
daripada sikap analitis terhadap materi.
(7) Guru memelihara
antusiasme sederhana
V.
CT L(Contextual Teaching and Learning)
Sekilas tentang Metode Kontekstual
CTL (Contextual Teaching and Learning) cms-formulasi Penerapan pembelajaran
kontekstual (Contextual Teaching and Learning) di Amerika Serikat bermula dari
pandangam ahli pendidikan klasik John Dewey yang pada tahun 1916 mengajukan
teori kurikulum dan metodologi pengajaran yang berhubungan dengan pengalaman
dan minat siswa. Filosofi pembelajaran kontekstual berakar dari paham
progressivisme John Dewey. Intinya, siswa akan belajar dengan baik apabila apa
yang mereka pelajari berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui, serta
proses belajar akan produktif jika siswa terlibat dalam proses belajar di
sekolah. Pokok-pokok pandangan progressivisme antara lain:
1. Siswa belajar dengan baik apabila
mereka secara aktif dapat mengkonstruksi sendiri.
2. Siswa harus bebas agar dapat
berkembang wajar.
3. Penumbuhan minat melalui
pengalaman langsung untuk merangsang belajar.
4. Guru sebagai pembimbing dan
peneliti.
5. Harus ada kerja sama antara
sekolah dan masyarakat.
6. Sekolah progresif harus merupakan
laboratorium untuk melakukan eksperimen.
Selain teori progressivisme John Dewey, teori
kognitif melatarbelakangi pula filosofi pembelajaran kontekstual. Siswa akan
belajar dengan baik apabila mereka terlibat secara aktif dalam segala kegiatan
di kelas dan berkesempatan untuk menemukan sendiri. siswa menunjukkan belajar
dalam bentuk apa yang mereka ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Belajar
dipendang sebagai usaha atau kegiatan intelektual untuk membangkit ide-ide yang
masih laten melalui kegiatan introspeksi. Sejauh ini pendidikan kita masih di
dominasi oleh pandangan bahawa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang
harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan,
kemudian ceramah sebagai pilihan utama strategi belajar. Untuk itu, diperlukan
sebuah strategi belajar baru yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi
belajar yang tidak mengharuskan siswa menghapal fakta-fakta, tetapi sebuah
strategi yang mendorong siswa mengkontruksi pengetahuan di benak mereka
sendiri. metode+ctl Berpijak pada dua pandangan itu, filosofi konstruksivisme
berkembang. Dasarnya pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari konteks
yang terbatas dan sedikit demi sedikit. Siswa yang harus mengkontruksikan sendiri
pengetahuannya. Melalui landasan filosofi konstruksivisme, CTL dipromosikan
menjadi alternatif strategi belajar yang baru. Melalui strategi, siswa
diharapkan belajar melalui mengalami bukan menghafal. Menurut filosofi
konstruktivisme, pengetahuan bersifat non-objektif, temporer, dan selalu
berubah. Segala sesuatu bersifat temporer, berubah dan tidak menentu. Belajar
adalah pemaknaan pengetahuan, bukan perolehan pengetahuan dan mengajar
diartikan sebagain kegiatan atau menggali makna, bukan memindahkan pengetahuan
kepada orang yang belajar. Otak atau akal manusia berfungsi sebagai alat untuk
melakukan interpretasi sehingga muncul makna yang unik. Dengan paham
kontruksivisme, siswa diharapkan dapat membangun pemahaman sendiri dari
pengalaman/pengetahuan terdahulu. Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui
pengalaman-pengalam belajar bermakna. Siswa diharapkan memapu mempraktikkan
pengetahuan/pengalaman yang telah diperoleh dalam konteks kehidupan. Siswa
diharapkan juga melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan
tersebut. Dengan demikian, siswa dapat memiliki pemahaman yang berbeda terhadap
pengetahuan yang dipelajari. Pemahaman ini diperoleh siswa karena ia dihadapkan
kepada lingkungan belajar yang bebas yang merupakan unsur yang sangat esensial.
Hakikat teori kontruksivisme adalah bahwa siswa harus menjadikan informasi itu
menjadi miliknya sendiri. teori kontruksivisme memandang siswa secara terus
menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan
lama dn memperbaiki aturan-aturan yang tidak sesuai lagi. Teori konstruksivis
menuntut siswa berperan aktif dalam pembelajaran mereka sendiri. Karena
penekanannya pada siswa aktif, maka strategi kontruksivis sering disebut
pengajaran yang berpusat pada siswa (student-centered instruction). Di dalam
kelas yang pengajarannya terpusat kepada siswa, peranan guru adalah membantu
siswa menemukan fakta, konsep, atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan
memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan di kelas.
Beberapa
proposisi yang dapat dikemukakan sebagai implikasi dari teori kontruktivistik
dalam praktek pembeljaran di sekolah-sekolah kita sekarang adalah sebagai
berikut:
1.
Belajar adalah proses pemaknaan informasi baru
2. Kebebasan merupakan unsur esensial dalam
lingkungan belajar.
3.
Strategi belajar yang digunakan menentukan proses dan hasil belajar.
4.
Belajar pada hakikatnya memiliki aspeksosial dan budaya.
5.
Kerja kelompok dianggap sangat berharga.
Dalam
pandangan kontruksivistik, kebebasan dipandangan sebagai penentu keberhasilan
karena kontrol belajar dipegang oleh siswa sendiri. Tujuan pembelajaran
konstruktivistik menekankan pada penciptaan pemahaman yang menuntut aktivitas
yang kreatif dan produktif dalam konteks nyata. Dengan demikian, paham
konstruktivistik menolak pandangan behavioristik.
VI. TPR (Totally Physical Response)
Bahasa merupakan kunci penentu menuju keberhasilan dan
memiliki peran sentral, khususnya dalam perkembangan intelektual, sosial, dan
emosional seseorang dan dalam mempelajari semua bidang studi. Bahasa diharapkan
bisa membantu seseorang dalam hal ini yang saya bicarakan adalah peserta didik
untuk mengenal dirinya, budayanya dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan
dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut,
menemukan serta menggunakan kemampuan-kemampuan analitis dan imaginative dalam
dirinya.
Ada beberapa macam metode yang biasa digunakan seorang guru atau instruktur dalam meningkatkan kemampuan belajar peserta didiknya seperti metode diskusi, ceramah, Inquiry dan lain-lain. Saya ingin memperkenalkan salah satu metode yakni metode TPR (Total Physical Response) sebagai salah satu teknik penyajian dalam pengajaran khususnya dalam pembelajaran bahasa asing, baik itu bahasa Inggris, Jepang, Perancis, dan lain-lain.
Metode pembelajaran adalah suatu ilmu yang membicarakan tentang cara-cara menyampaikan bahan pelajaran, sehingga dikuasai oleh peserta didik dengan kata lain ilmu tentang guru mengajar dan murid belajar.
Ada beberapa macam metode yang biasa digunakan seorang guru atau instruktur dalam meningkatkan kemampuan belajar peserta didiknya seperti metode diskusi, ceramah, Inquiry dan lain-lain. Saya ingin memperkenalkan salah satu metode yakni metode TPR (Total Physical Response) sebagai salah satu teknik penyajian dalam pengajaran khususnya dalam pembelajaran bahasa asing, baik itu bahasa Inggris, Jepang, Perancis, dan lain-lain.
Metode pembelajaran adalah suatu ilmu yang membicarakan tentang cara-cara menyampaikan bahan pelajaran, sehingga dikuasai oleh peserta didik dengan kata lain ilmu tentang guru mengajar dan murid belajar.
1.Pengertian Metode TPR (Total Physical Response)
Menurut Richards J dalam bukunya
Approaches and Methods in Language Teaching, TPR didefinisikan:
“a language teaching method built around the coordination of speech and action; it attempts to teach language through physical (motor) activity”.
Jadi metode TPR (Total Physical Response) merupakan suatu metode pembelajaran bahasa yang disusun pada koordinasi perintah (command), ucapan (speech) dan gerak (action); dan berusaha untuk mengajarkan bahasa melalui aktivitas fisik (motor).
Sedangkan menurut Larsen dan Diane dalam Technique and Principles in Language Teaching, TPR atau disebut juga ”the comprehension approach” atau pendekatan pemahaman yaitu suatu metode pendekatan bahasa asing dengan instruksi atau perintah.
Metode ini dikembangkan oleh seorang professor psikologi di Universitas San Jose California yang bernama Prof. Dr. James J. Asher yang telah sukses dalam pengembangan metode ini pada pembelajaran bahasa asing pada anak-anak. Ia berpendapat bahwa pengucapan langsung pada anak atau siswa mengandung suatu perintah, dan selanjutnya anak atau siswa akan merespon kepada fisiknya sebelum mereka memulai untuk menghasilkan respon verbal atau ucapan.
Metode TPR ini sangat mudah dan ringan dalam segi penggunaan bahasa dan juga mengandung unsur gerakan permainan sehingga dapat menghilangkan stress pada peserta didik karena masalah-masalah yang dihadapi dalam pelajarannya terutama pada saat mempelajari bahasa asing, dan juga dapat menciptakan suasana hati yang positif pada peserta didik yang dapat memfasilitasi pembelajaran sehingga dapat meningkatkan motivasi dan prestasi siswa dalam pelajaran tersebut. Makna atau arti dari bahasa sasaran dipelajari selama melakukan aksi.
Guru atau instruktur memiliki peran aktif dan langsung dalam menerapkan metode TPR ini. Menurut Asher ”The instructor is the director of a stage play in which the students are the actors”, yang berarti bahwa guru (instruktur) adalah sutradara dalam pertunjukan cerita dan di dalamnya siswa sebagai pelaku atau pemerannya. Guru yang memutuskan tentang apa yang akan dipelajari, siapa yang memerankan dan menampilkan materi pelajaran.
Siswa dalam TPR mempunyai peran utama sebagai pendengar dan pelaku. Siswa mendengarkan dengan penuh perhatian dan merespon secara fisik pada perintah yang diberikan guru baik secara individu maupun kelompok.
“a language teaching method built around the coordination of speech and action; it attempts to teach language through physical (motor) activity”.
Jadi metode TPR (Total Physical Response) merupakan suatu metode pembelajaran bahasa yang disusun pada koordinasi perintah (command), ucapan (speech) dan gerak (action); dan berusaha untuk mengajarkan bahasa melalui aktivitas fisik (motor).
Sedangkan menurut Larsen dan Diane dalam Technique and Principles in Language Teaching, TPR atau disebut juga ”the comprehension approach” atau pendekatan pemahaman yaitu suatu metode pendekatan bahasa asing dengan instruksi atau perintah.
Metode ini dikembangkan oleh seorang professor psikologi di Universitas San Jose California yang bernama Prof. Dr. James J. Asher yang telah sukses dalam pengembangan metode ini pada pembelajaran bahasa asing pada anak-anak. Ia berpendapat bahwa pengucapan langsung pada anak atau siswa mengandung suatu perintah, dan selanjutnya anak atau siswa akan merespon kepada fisiknya sebelum mereka memulai untuk menghasilkan respon verbal atau ucapan.
Metode TPR ini sangat mudah dan ringan dalam segi penggunaan bahasa dan juga mengandung unsur gerakan permainan sehingga dapat menghilangkan stress pada peserta didik karena masalah-masalah yang dihadapi dalam pelajarannya terutama pada saat mempelajari bahasa asing, dan juga dapat menciptakan suasana hati yang positif pada peserta didik yang dapat memfasilitasi pembelajaran sehingga dapat meningkatkan motivasi dan prestasi siswa dalam pelajaran tersebut. Makna atau arti dari bahasa sasaran dipelajari selama melakukan aksi.
Guru atau instruktur memiliki peran aktif dan langsung dalam menerapkan metode TPR ini. Menurut Asher ”The instructor is the director of a stage play in which the students are the actors”, yang berarti bahwa guru (instruktur) adalah sutradara dalam pertunjukan cerita dan di dalamnya siswa sebagai pelaku atau pemerannya. Guru yang memutuskan tentang apa yang akan dipelajari, siapa yang memerankan dan menampilkan materi pelajaran.
Siswa dalam TPR mempunyai peran utama sebagai pendengar dan pelaku. Siswa mendengarkan dengan penuh perhatian dan merespon secara fisik pada perintah yang diberikan guru baik secara individu maupun kelompok.
2.Bentuk Aktivitas dengan Metode TPR dalam PBM (Proses Belajar Mengajar).
Dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan metode TPR ini banyak sekali aktivitas yang dapat dilakukan oleh guru dan siswa antara lain:
a.Latihan dengan menggunakan perintah (Imperative Drill ), merupakan aktivitas utama yang dilakukan guru di dalam kelas dari metode TPR. Latihan berguna untuk memperoleh gerakan fisik dan aktivitas dari siswa.
b.Dialog atau percakapan (conversational dialogue).
c.Bermain peran (Role Play), dapat dipusatkan pada aktivitas sehari-hari seperti di sekolah, restoran, pasar, dll.
d.Presentasi dengan OHP atau LCD
e.Aktivitas membaca (Reading) dan menulis (Writing) untuk menambah perbendaharaan kata (vocabularies) dan juga melatih pada susunan kalimat berdasarkan tenses dan sebagainya.
3.Teori pembelajaran TPR
Teori pembelajaran bahasa TPR yang diterapkan pertama kali oleh Asher ini mengingatkan pada beberapa pandangan para psikolog, misalnya Arthur Jensen yang pernah mengusulkan sebuah model 7-langkah unutk mendeskripsikan perkembangan pembelajaran verbal anak. Model ini sangat mirip dengan pandangan Asher tentang penguasaan bahasa anak. Asher menyajikan 3 hipotesa pembelajaran yang berpengaruh yaitu:
1.Terdapat bio-program bawaan yang spesifik untuk pembelajaran bahasa yang menggambarkan sebuah alur yang optimal untuk pengembangan bahasa pertama dan kedua.
2.Lateralisasi otak menggambarkan fungsi pembelajaran yang berbeda pada otak kiri dan kanan.
3.Stres mempengaruhi aktivitas pembelajaran dan apa yang akan dipelajari oleh peserta didik, stress yang lebih rendah kapasitasnya maka pembelajaran menjadi lebih baik.
VII.
COMMUNICATIVE
APPROACH (Communicative Language Teaching)
Mumbly
(1978) menyebut Pendekatan Komunikatif sebagai ‘Communicative Syllabus’.
Widdowson menyebutnya sebagai ‘Communicative Approach’, sedangkan Richards
& Rogers menyebutnya ‘Communicative Language Teaching’ (CLT).
Istilah-istilah seperti Notionol- Functional Approach atau Functional Approach.
Communicative Aproach/ CA (Communicative Language Teaching) berasal dari
perubahan pada tradisi pengajaran bahasa di Inggris pada akhir tahun 1960 dan
kemunculannya dipertegas oleh: Kegagalan Audio Lingual Method yang menghasilkan
penutur-penutur bahasa asing atau baha ysa kedua yang baik dan fasih tetapi
tidak mampu menggunakan bahasa yang dipelajari dalam interaksi yang bermakna.
Pandangan Chomsky tentang kreatifitas dan keunikan kalimat sebagai ciri dasar
sebuah bahasa. CA bertujuan untuk menjadikan kompetensi komunikatif
(communicative competence) sebagai tujuan pengajaran bahasa dan untuk
mengembangkan teknik-teknik dan prosedur pengajaran ketrampilan bahasa yang
didasarkan atas aspek saling bergantung antara bahasa dan komunikasi.
Kompetensi Komunikatif mencakup kompetensi gramatika, sosiolinguistik, dan
strategi. Kemampuan komunikatif berbahasa (communicative language ability)
meliputi pengetahuan atau kompetensi dan kecakapan dalam penerapan kompetensi
tersebut dalam penggunaan bahasa yang komunikatif, kontekstual, dan sesuai.
Beberapa pemerian mengenai kompetensi komunikatif secara umum berpandangan
bahwa makna profisiensi dalam sebuah bahasa tidak hanya sekedar mengetahui
sistem kaidah-kaidah gramatikal (fonologi, sintaksis, kosakata, dan semantik).
Fokus metode ini pada dasarnya adalah elaborasi dan implementasi program dan
metodologi yang menunjang kemampuan bahasa fungsional melalui pertisipasi
pembelajaran dalam kegiatan-kegiatan
Communicative
Language Teaching
Hal inilah yang sering didengungkan oleh dosen di kampus dulu. Bahwa paradigma pengajaran bahasa hendaknya diubah. Jika melihat buku-buku teks sekolah pada tahun 1970-1990an akan tampak bahwa pengajaran bahasa dalam hal ini Bahasa Inggris sangat kentara menekankan pada tata bahasa, atau grammar bahasa yang dipelajari (Grammatical competence).
Hal inilah yang sering didengungkan oleh dosen di kampus dulu. Bahwa paradigma pengajaran bahasa hendaknya diubah. Jika melihat buku-buku teks sekolah pada tahun 1970-1990an akan tampak bahwa pengajaran bahasa dalam hal ini Bahasa Inggris sangat kentara menekankan pada tata bahasa, atau grammar bahasa yang dipelajari (Grammatical competence).
Akan
tetapi, bahasa adalah alat untuk berkomunikasi bukan sekedar seperangkat
aturan. Jadi pengajaran bahasa sebaiknya berpedoman pada prinsip “Teach the
learners to use the language” bukan “Teach the learners about the language”.
Mengajarkan kepada siswa bagaimana menggunakan bahasa. Bukan mengajarkan siswa
tentang bahasa yang dipelajari.
Implikasinya
nanti pada akhir pengajaran evaluasi akan mengacu pada “Apa yang bisa kamu
lakukan dengan bahasa (yang dipelajari)” bukan “Apa yang kamu tahu tentang
bahasa (yang dipelajari)”. Jadi, Communicative Language teaching bermuara atau
mempunyai tujuan akhir pada pencapaian communicative competence (kemampuan
komunikasi dengan bahasa) melalui proses atau pendekatan komunikatif
(Communicative approach).
Communicative
approach adalah pendekatan yang dipakai di kelas dalam konteks CLT. Pendekatan
itu diantaranya adalah berupa jenis-jenis aktifitas kelas yang mengarahkan
siswa pada penggunaan bahasa. Seperti role play, interviews, information gap,
games, language exchanges, surveys, pair work, learning by teaching, dan
lain-lain.
Kesadaran
akan prinsip communicative language teaching ini mulai dapat dilihat dalam
pengajaran bahasa sekarang dimana buku-buku teks Bahasa Inggris telah
menekankan pada pengajaran yang mengacu pada genre-based. Sehingga tampak bahwa
siswa diajarkan tentang penggunaan bahasa yang mungkin mereka dapatkan di
kehidupan sehari-hari.
Namun,
ternyata CLT tidak serta merta harus diterapkan di semua konteks pengajaran
bahasa Inggris. Dalam situasi kelas dimana tujuan siswa/peserta didik adalah
untuk menguasai aspek tertentu dari bahasa Inggris (misalnya kelas persiapan
tes bahasa inggris, toefl preparation, structure, dll) pengajaran menjadi lebih
fleksibel.
Jika
dalam kelas tertentu peserta didik memang bertujuan untuk belajar tentang tata
bahasa (grammar) inggris, pengajar sebaiknya focus akan kegiatan drilling
(latihan berulang-ulang). Dalam hal ini penjelasan tentang bahasa bisa
dilakukan secara deduktif. Dan tidak kalah pentingnya, melatih siswa/peserta
didik untuk memproduksi bahasa sesuai dengan struktur yang dipelajari merupakan
salah satu cara agar pengajaran bahasa tersebut tidak hanya bermuara pada
kemampuan ‘mengenal’ bahasa tapi juga ‘menggunakan’ bahasa.
THE
APPROACHES, METHODS, TECHNIQUES IN LANGUAGE LEARNING
A. DEFINITION OF APPROACHES, METHODS
AND TECHNIQUES
1.
APPROACHES
An
approach describes how language is used and how its constituent parts interlock.
In other words it offers a model of language competence. An approach describes
how people acquire their knowledge of the language and makes statements about
the condition which will promote successful language learning.
2. METHODS
A method
is the practical realization of an approach. The originators of a method have
arrived at decisions about types of activities, roles of teachers and learners,
the kind of material which will be helpful, and some model of syllabus
organization. Methods include various procedure and techniques as a part of
their standard fare. When methods have fixed procedure, informed by a clearly
articulated approach, they are easy to describe. The more all embracing they
become, however, the more difficult it is to categories them as real methods in
their own right.
3.
TECHNIQUES
A way of
carrying out a particular task, especially the execution or performance of an
artistic work or a scientific procedure.
B. KIND OF
APPROACHES
VIII.
CONTENT
BASED INSTRUCTION
The focus
of a CBI lesson is on the topic or subject matter. During the lesson students
are focused on learning about something. This could be anything that interests
them from a serious science subject to their favorite pop star or even a
topical news story or film. They learn about this subject using the language
they are trying to learn, rather than their native language, as a tool for
developing knowledge and so they develop their linguistic ability in the target
language. This is thought to be a more natural way of developing language
ability and one that corresponds more to the way we originally learn our first
language.
There are
many ways to approach creating a CBI lesson. This is one possible way.
·
Preparation
o Choose a
subject of interest to students.
o Find
three or four suitable sources that deal with different aspects of the subject.
These could be websites, reference books, audio or video of lectures or even
real people.
· During
the lesson
o Divide
the class into small groups and assign each group a small research task and a
source of information to use to help them fulfill the task.
o Then
once they have done their research they form new groups with students that used
other information sources and share and compare their information.
o There
should then be some product as the end result of this sharing of information
which could take the form of a group report or presentation of some kind.
IX.
TASK BASED APPROACH
Task
-based learning offers an alternative for language teachers. In a task-based
lesson the teacher doesn’t pre-determine what language will be studied, the
lesson is based around the completion of a central task and the language
studied is determined by what happens as the students complete it. The lesson
follows certain stages.
Pre-task
The
teacher introduces the topic and gives the students clear instructions on what
they will have to do at the task stage and might help the students to recall
some language that may be useful for the task. The pre-task stage can also
often include playing a recording of people doing the task. This gives the
students a clear model of what will be expected of them. The students can take
notes and spend time preparing for the task.
Task
The
students complete a task in pairs or groups using the language resources that
they have as the teacher monitors and offers encouragement.
Planning
Students
prepare a short oral or written report to tell the class what happened during
their task. They then practice what they are going to say in their groups.
Meanwhile the teacher is available for the students to ask for advice to clear
up any language questions they may have.
Report
Students
then report back to the class orally or read the written report. The teacher
chooses the order of when students will present their reports and may give the
students some quick feedback on the content. At this stage the teacher may also
play a recording of others doing the same task for the students to compare.
Analysis
The
teacher then highlights relevant parts from the text of the recording for the
students to analysis. They may ask students to notice interesting features
within this text. The teacher can also highlight the language that the students
used during the report phase for analysis.
Practice
Finally,
the teacher selects language areas to practice based upon the needs of the
students and what emerged from the task and report phases. The students then do
practice activities to increase their confidence and make a note of useful
language.
The
advantages of Task Based Approach
- the students are free of language control. In all three stages they must use all their language resources rather than just practising one pre-selected item.
- The students will have a much more varied exposure to language with TBL. They will be exposed to a whole range of lexical phrases, collocations and patterns as well as language forms.
- The language explored arises from the students’ needs. This need dictates what will be covered in the lesson rather than a decision made by the teacher or the course book.
- It is a strong communicative approach where students spend a lot of time communicating.
- It is enjoyable and motivating.
X.
PARTICIPATORY
APPROACH
Participatory
approach started being widely discussed in the language teaching literature. In
some ways the participatory approach is similar to the content based approach
in that it begins with content that is meaningful to the students and any forms
that are worked upon emerge from that content. It is not the content of subject
matter texts, but rather content that is based on issues of concern to
students.
The
Principles of Participatory Approach :
- What happens in the classroom should be connected with what happens outside that has relevance to the students.
- The curriculum is not a predetermined product, but the result of an ongoing context specific problem posing process.
- Education is most effective when it is experience centered, when it relates to students’ real needs.
- Student learn to see themselves as social and political beings.
- Language skills are taught in service of action for change, rather than isolati
- A goal of the participatory approach is for students to be evaluating their own learning and to increasingly direct it themselves.
XI.
PBL (PROBLEM
BASED LEARNING)
Problem
Based Learning adalah proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran
berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata dan lalu dari masalah ini siswa
dirangsang untuk mempelajari masalah ini berdasarkan pengetahuan dan pengalaman
yang telah mereka punyai sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior
knowledge ini akan terbentuk pengetahuan dan pengalaman baru. Diskusi
dengan menggunakan kelompok kecil merupakan poin utama dalam penerapan PBL.
Fitur
PBL :
-
Guru berperan sebagai fasilitator
-
Kerja kelompok
-
Learning by doing
-
Soal terbuka (open ended)
-
Tujuan tidak ditetapkan
Karakteristik
kelompok :
-
Dibagi secara acak
-
Terdiri dari 5-8 orang
-
Heterogen
Fase
PBL :
Fase
1
: apa yang diketahui ?
Fase
2
: Apa yang tidak diketahui ?
Fase
3
: Apa yang harus dilakukan ?
Model Problem Based Learning adalah model pembelajaran dengan
pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik sehingga siswa
dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuh kembangkan
keterampilan yang lebih tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa dan
meningkatkan kepercayaan diri sendiri (menurut Arends dalam Abbas, 2000:13).
Model ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu yang harus dipelajari siswa untuk melatih dan meningkatkan ketrampilan berfikir kritis dan pemecahan masalah serta mendapatkan pengetahuan konsep- konsep penting, dimana tugas guru harus memfokuskan diri untuk membantu siswa mencapai ketrampilan mengarahkan diri. Pembelajaran berbasis masalah penggunaannya di dalam tingkat berfikir yang lebih tinggi, dalam situasi berorientasi pada masalah, termasuk bagaimana belajar.
Problem Based Learning atau Pembelajaran berbasis masalah meliputi pengajuan pertanyaan atau masalah, memusatkan pada keterkaitan antar disiplin, penyelidikan autentik, kerjasama dan menghasilkan karya serta peragaan. Pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya pada siswa. Pembelajaran berbasis masalah antara lain bertujuan untuk membantu siswa mengembangkan
ketrampilan berfikir dan ketrampilan pemecahan masalah (Ibrahim 2002 : 5).
Dalam pembelajaran berbasis masalah, perhatian pembelajaran tidak hanya pada perolehan pengetahuan deklaratif, tetapi juga perolehan pengetahuan prosedural. Oleh karena itu penilaian tidak hanya cukup dengan tes. Penilaian dan evaluasi yang sesuai dengan model pembelajaran berbasis masalah adalah menilai pekerjaan yang dihasilkan oleh siswa sebagai hasil pekerjaan mereka dan mendiskusikan hasil pekerjaan secara bersama-sama. Penilaian proses dapat digunakan untuk menilai pekerjaan siswa tersebut, penilaian ini antara lain 7
Model ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu yang harus dipelajari siswa untuk melatih dan meningkatkan ketrampilan berfikir kritis dan pemecahan masalah serta mendapatkan pengetahuan konsep- konsep penting, dimana tugas guru harus memfokuskan diri untuk membantu siswa mencapai ketrampilan mengarahkan diri. Pembelajaran berbasis masalah penggunaannya di dalam tingkat berfikir yang lebih tinggi, dalam situasi berorientasi pada masalah, termasuk bagaimana belajar.
Problem Based Learning atau Pembelajaran berbasis masalah meliputi pengajuan pertanyaan atau masalah, memusatkan pada keterkaitan antar disiplin, penyelidikan autentik, kerjasama dan menghasilkan karya serta peragaan. Pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya pada siswa. Pembelajaran berbasis masalah antara lain bertujuan untuk membantu siswa mengembangkan
ketrampilan berfikir dan ketrampilan pemecahan masalah (Ibrahim 2002 : 5).
Dalam pembelajaran berbasis masalah, perhatian pembelajaran tidak hanya pada perolehan pengetahuan deklaratif, tetapi juga perolehan pengetahuan prosedural. Oleh karena itu penilaian tidak hanya cukup dengan tes. Penilaian dan evaluasi yang sesuai dengan model pembelajaran berbasis masalah adalah menilai pekerjaan yang dihasilkan oleh siswa sebagai hasil pekerjaan mereka dan mendiskusikan hasil pekerjaan secara bersama-sama. Penilaian proses dapat digunakan untuk menilai pekerjaan siswa tersebut, penilaian ini antara lain 7
1.
asesmen kerja, asesmen autentik dan portofolio. Penilaian proses bertujuan agar
guru dapat melihat bagaimana siswa merencanakan pemecahan masalah, melihat
bagaimana siswa menunjukkan pengetahuan dan ketrampilannya. Airasian
dalam Diah Eko Nuryenti (2002) menyatakan bahwa penilaian kinerja
memungkinkan siswa menunjukkan apa yang dapat mereka lakukan dalam situasi yang
sebenarnya. Sebagian masalah dalam kehidupan nyata bersifat dinamis sesuai
dengan perkembangan zaman dan konteks atau lingkungannya, maka disamping pengembangan
kurikulum juga perlu dikembangkan model pembelajaran yang sesuai tujuan
kurikulum yang memungkinkan siswa dapat secara aktif mengembangkan kerangka
berfikir dalam memecahkan masalah serta kemampuannya untuk bagaimana belajar
(learning how to learn). Dengan kemampuan atau kecakapan tersebut diharapkan
siswa akan mudah beradaptasi. Dasar pemikiran pengembangan strategi
pembelajaran tersebut sesuai dengan pandangan kontruktivis yang menekankan
kebutuhan siswa untuk menyelidiki lingkungannya dan membangun pengetahuan
secara pribadi pengetahuan bermakna (Ibrahim, 2000:19).
Ketika siswa masuk kelas mereka tidak dalam keadaan kosong,
melainkan mereka telah memiliki pengetahuan awal.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka pembelajaran Pekerjaan Dasar Konstruksi Bangunan perlu diawali dengan mengangkat permasalahan yang sesuai dengan lingkungannya (permasalahan kontekstual). Menurut Arends (dalam Abbas, 2000:13), pertanyaan dan masalah yang diajukan haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka pembelajaran Pekerjaan Dasar Konstruksi Bangunan perlu diawali dengan mengangkat permasalahan yang sesuai dengan lingkungannya (permasalahan kontekstual). Menurut Arends (dalam Abbas, 2000:13), pertanyaan dan masalah yang diajukan haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut.
a. Autentik, yaitu masalah harus lebih berakar
pada kehidupan dunia nyata siswa dari pada berakar pada prinsip-prinsip
disiplin ilmu tertentu.
b. Jelas, yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa.
c. Mudah dipahami, yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah dipahami siswa. Selain itu masalah disusun dan dibuat sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. 8
d. Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran, yaitu masalah yang disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya masalah tersebut mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber yang tersedia. Selain itu, masalah yang telah disusun tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
e. Bermanfaat, yaitu masalah yang telah disusun dan dirumuskan haruslah bermanfaat, baik siswa sebagai pemecah masalah maupun guru sebagai pembuat masalah. Masalah yang bermanfaat adalah masalah yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir memecahkan masalah siswa, serta membangkitkan motivasi belajar siswa.
b. Jelas, yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa.
c. Mudah dipahami, yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah dipahami siswa. Selain itu masalah disusun dan dibuat sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. 8
d. Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran, yaitu masalah yang disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya masalah tersebut mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber yang tersedia. Selain itu, masalah yang telah disusun tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
e. Bermanfaat, yaitu masalah yang telah disusun dan dirumuskan haruslah bermanfaat, baik siswa sebagai pemecah masalah maupun guru sebagai pembuat masalah. Masalah yang bermanfaat adalah masalah yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir memecahkan masalah siswa, serta membangkitkan motivasi belajar siswa.
Pengajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu
dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau
mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk itu
dapat berupa transkip debat, laporan, model fisik, video atau program komputer
(Ibrahim & Nur, 2000:5-7 dalam Nurhadi, 2003:56) Pengajaran berbasis
masalah dicirikan oleh siswa bekerja sama satu sama
lain (paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil). Bekerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berfikir.
lain (paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil). Bekerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berfikir.
Menurut Lepinski (2005) tahap-tahap pemecahan masalah sebagai berikut ini,
yaitu:
1) penyampaian
ide (ideas),
2) penyajian fakta
yang diketahui (known facts),
3) mempelajari masalah (learning issues),
4) menyusun rencana tindakan, (action plan) dan
5) evaluasi (evaluation).
Tahap 1: Penyampaian Ide (Ideas)
Pada tahap ini dilakukan secara curah pendapat (brainstorming). Pebelajar merekam semua daftar masalah (gagasan,ide) yang akan dipecahkan. Mereka kemudian diajak untuk melakukan penelaahan terhadap ide-ide yang
dikemukakan atau mengkaji pentingnya relevansi ide berkenaan dengan masalah yang akan dipecahkan (masalah actual, atau masalah yang relevan dengan 9 kurikulum), dan menentukan validitas masalah untuk melakukan proses kerja melalui masalah.
Tahap 2: Penyajian Fakta yang Diketahui (Known Facts)
Pada tahap ini, mereka diajak mendata sejumlah fakta
pendukung sesuai dengan masalah yang telah diajukan. Tahap ini membantu
mengklarifikasi kesulitan yang diangkat dalam masalah. Tahap ini mungkin juga
mencakup pengetahuan yang telah dimiliki oleh mereka berkenaan dengan
isu-isu khusus, misalnya pelanggaran kode etik, teknik pemecahan konflik, dan
sebagainya.
Tahap 3: Mempelajari Masalah ( Learning Issues)
Pebelajar diajak menjawab pertanyaan tentang, “Apa yang perlu
kita ketahui untuk memecahkan masalah yang kita hadapi?” Setelah
melakukan diskusi dan konsultasi, mereka melakukan penelaahan atau penelitian
dan mengumpulkan informasi. Pebelajar melihat kembali ide-ide awal untuk
menentukan mana yang masih dapat dipakai. Seringkali, pada saat para pebelajar
menyampaikan masalah-masalah, mereka menemukan cara-cara baru untuk
memecahkan masalah. Dengan demikian, hal ini dapat menjadi sebuah proses atau tindakan untuk mengeliminasi ide-ide yang tidak dapat dipecahkan atau sebaliknya ide-ide yang dapat dipakai untuk memecahkan masalah.
memecahkan masalah. Dengan demikian, hal ini dapat menjadi sebuah proses atau tindakan untuk mengeliminasi ide-ide yang tidak dapat dipecahkan atau sebaliknya ide-ide yang dapat dipakai untuk memecahkan masalah.
Tahap 4: Menyusun Rencana Tindakan (Action Plan)
Pada tahap ini, pebelajar diajak mengembangkan sebuah rencana
tindakan yang didasarkan atas hasil temuan mereka. Rencana tindakan ini berupa
sesuatu (rencana) apa yang mereka akan lakukan atau berupa suatu rekomendasi
saran-
saran untuk memecahkan masalah.
saran untuk memecahkan masalah.
Tahap 5: Evaluasi
Tahap evaluasi ini terdiri atas tiga hal:
1) bagaimana pebelajar dan evaluator menilai
produk (hasil akhir) proses,
2) bagai-mana mereka menerapkan tahapan PBM untuk
bekerja melalui masalah, dan
3) bagaimana pebelajar akan menyampaikan pengetahuan hasil
pemecahakan masalah atau sebagai bentuk pertanggung jawaban mereka.
XII.
BLANDED
LEARNING
Blanded Learning adalah sistem pendidikan yang menggunakan
aplikasi elektronik untuk mendukung belajar mengajar dengan media Internet,
jaringan komputer,maupun komputer standalone.E-learning dalam arti luas bisa
mencakup pembelajaran yang dilakukan di media elektronik (internet) baik secara
formal maupun informal. E-learning secara formal misalnya adalah pembelajaran
dengan kurikulum, silabus, mata pelajaran dan tes yang telah diatur dan disusun
berdasarkan jadwal yang t ... Blended Learning itu?Sesuai namanya,
blended learning adalah metode pembelajaran yang memadukan pertemuan tatap
muka dengan materi online secara harmonis. Perpaduan antara training
konvensional di mana trainer dan trainee bertemu langsung dengan training
online yang bisa diakses kapan saja, di mana saja 24 jam sehari, 7 hari
seminggu. Adapun bentuk lain dari blended learning adalah pertemuan
virtual antara trainer dengan trainee. Mereka mungkin saja berada di dua dunia
berbeda, namun bisa salin ... Learning, merupakan cara baru dalam proses
belajar mengajar yang menggunakan media elektronik khususnya internet sebagai
sistem pembelajarannya. E-learning merupakan dasar dan konsekuensi logis dari
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Beberapa ahli mencoba
menguraikan pengertian e-learning menurut versinya masing-masing, diantaranya
E. Hartley menyatakan:eLearning merupakan suatu jenis belajar mengajar yang
memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media ...
Apa itu e-Learning?E-learning merupakan singkatan dari Elektronic Learning, merupakan cara baru dalam proses belajar mengajar yang menggunakan media elektronik khususnya internet sebagai sistem pembelajarannya. E-learning merupakan dasar dan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Beberapa ahli mencoba menguraikan pengertian e-learning menurut versinya masing-masing, diantaranya E. Hartley menyatakan:eLearning merupakan suatu jenis belajar mengajar yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media Internet, Intranet atau media jaringan komputer lain.LearnFrame.Com dalam Glossary of eLearning Terms menyatakansuatu definisi yang lebih luas bahwa: eLearning adalah sistem pendidikan yang menggunakan aplikasi elektronik untuk mendukung belajar mengajar dengan media Internet, jaringan komputer,maupun komputer standalone.E-learning dalam arti luas bisa mencakup pembelajaran yang dilakukan di media elektronik (internet) baik secara formal maupun informal. E-learning secara formal misalnya adalah pembelajaran dengan kurikulum, silabus, mata pelajaran dan tes yang telah diatur dan disusun berdasarkan jadwal yang telah disepakati pihak-pihak terkait (pengelola e-learning dan pembelajar sendiri). Pembelajaran seperti ini biasanya tingkat interaksinya tinggi dan diwajibkan oleh perusahaan pada karyawannya atau pembelajaran jarak jauh yang dikelola oleh universitas dan perusahaan-perusahaan (biasanya perusahaan konsultan) yang memang bergerak dibidang penyediaan jasa e-learning untuk umum.Walaupun sepertinya e-Learning diberikan hanya melalui perangkat komputer, e-Learning ternyata disiapkan, ditunjang, dikelola oleh tim yang terdiri dari .
Apa itu e-Learning?E-learning merupakan singkatan dari Elektronic Learning, merupakan cara baru dalam proses belajar mengajar yang menggunakan media elektronik khususnya internet sebagai sistem pembelajarannya. E-learning merupakan dasar dan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Beberapa ahli mencoba menguraikan pengertian e-learning menurut versinya masing-masing, diantaranya E. Hartley menyatakan:eLearning merupakan suatu jenis belajar mengajar yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media Internet, Intranet atau media jaringan komputer lain.LearnFrame.Com dalam Glossary of eLearning Terms menyatakansuatu definisi yang lebih luas bahwa: eLearning adalah sistem pendidikan yang menggunakan aplikasi elektronik untuk mendukung belajar mengajar dengan media Internet, jaringan komputer,maupun komputer standalone.E-learning dalam arti luas bisa mencakup pembelajaran yang dilakukan di media elektronik (internet) baik secara formal maupun informal. E-learning secara formal misalnya adalah pembelajaran dengan kurikulum, silabus, mata pelajaran dan tes yang telah diatur dan disusun berdasarkan jadwal yang telah disepakati pihak-pihak terkait (pengelola e-learning dan pembelajar sendiri). Pembelajaran seperti ini biasanya tingkat interaksinya tinggi dan diwajibkan oleh perusahaan pada karyawannya atau pembelajaran jarak jauh yang dikelola oleh universitas dan perusahaan-perusahaan (biasanya perusahaan konsultan) yang memang bergerak dibidang penyediaan jasa e-learning untuk umum.Walaupun sepertinya e-Learning diberikan hanya melalui perangkat komputer, e-Learning ternyata disiapkan, ditunjang, dikelola oleh tim yang terdiri dari .
XIII.
Multiple Intelligences
Melalui pengenalan akan Multiple Intelligences, kita dapat mempelajari kekuatan / kelemahan anak dan memberikan mereka peluang untuk belajar melalui kelebihan-kelebihannya.
Tujuan: anak memiliki kesempatan untuk
mengeksplorasi dunia, bekerja dengan ketrampilan sendiri dan mengembangkan
kemampuannya sendiri.
1.
Kecerdasan Linguistik
- Mampu membaca, mengerti apa yang dibaca.
- Mampu mendengar dengan baik dan memberikan respons dalam suatu komunikasi verbal.
- Mampu menirukan suara, mempelajari bahasa asing, mampu membaca karya orang lain.
- Mampu menulis dan berbicara secara efektif.
- Tertarik pada karya jurnalism, berdebat, pandai menyampaikan cerita atau melakukan perbaikan pada karya tulis.
- Mampu belajar melalui pendengaran, bahan bacaan, tulisan dan melalui diskusi, ataupun debat.
- Peka terhadap arti kata, urutan, ritme dan intonasi kata yang diucapkan.
- Memiliki perbendaharaan kata yang luas, suka puisi, dan permainan kata.
Profesi:
pustakawan, editor, penerjemah, jurnalis, tenaga bantuan hukum, pengacara,
sekretaris, guru bahasa, orator, pembawa acara di radio / TV, dan sebagainya.
2. Kecerdasan Logika – Matematika
2. Kecerdasan Logika – Matematika
- Mengenal dan mengerti konsep jumlah, waktu dan prinsip sebab-akibat.
- Mampu mengamati objek dan mengerti fungsi dari objek tersebut.
- Pandai dalam pemecahan masalah yang menuntut pemikiran logis.
- Menikmati pekerjaan yang berhubungan dengan kalkulus, pemograman komputer, metode riset.
- Berpikir secara matematis dengan mengumpulkan bukti-bukti, membuat hipotesis, merumuskan dan membangun argumentasi kuat.
- Tertarik dengan karir di bidang teknologi, mesin, teknik, akuntansi, dan hukum.
- Menggunakan simbol-simbol abstrak untuk menjelaskan konsep dan objek yang konkret.
Profesi:
auditor, akuntan, ilmuwan, ahli statistik, analisis / programer komputer, ahli
ekonomi, teknisi, guru IPA / Fisika, dan sebagainya.
3.
Kecerdasan Intrapersonal
- Mengenal emosi diri sendiri dan orang lain, serta mampu menyalurkan pikiran dan perasaan.
- Termotivasi dalam mengejar tujuan hidup.
- Mampu bekerja mandiri, mengembangkan kemampuan belajar yang berkelanjutan dan mau meningkatkan diri.
- Mengembangkan konsep diri dengan baik.
- Tertarik sebagai konselor, pelatih, filsuf, psikolog atau di jalur spiritual.
- Tertarik pada arti hidup, tujuan hidup dan relevansinya dengan keadaaan saat ini.
- Mampu menyelami / mengerti kerumitan dan kondisi manusia.
Profesi:
ahli psikologi, ulama, ahli terapi, konselor, ahli teknologi, perencana
program, pengusaha, dan sebagainya.
4. Kecerdasan
Interpersonal
- Memiliki interaksi yang baik dengan orang lain, pandai menjalin hubungan sosial.
- Mampu merasakan perasaan, pikiran, tingkah laku, dan harapan orang lain.
- Memiliki kemampuan untuk memahami orang lain dan berkomunikasi dengan efektif, baik secara verbal maupun non-verbal.
- Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kelompok yang berbeda, mampu menerima umpan balik yang disampaikan orang lain, dan mampu bekerja sama dengan orang lain.
- Mampu berempati dan mau mengerti orang lain.
- Mau melihat sudut pandang orang lain.
- Menciptakan dan mempertahankan sinergi.
Profesi:
administrator, manager, kepala sekolah, pekerja bagian personalia / humas,
penengah, ahli sosiologi, ahli antropologi, ahli psikologi, tenaga penjualan,
direktur sosial, CEO, dan sebagainya.
5. Kecerdasan Musikal
5. Kecerdasan Musikal
- Menyukai banyak jenis alat musik dan selalu tertarik untuk memainkan alat musik.
- Mudah mengingat lirik lagu dan peka terhadap suara-suara.
- Mengerti nuansa dan emosi yang terkandung dalam sebuah lagu.
- Senang mengumpulkan lagu, baik CD, kaset, atau lirik lagu.
- Mampu menciptakan komposisi musik.
- Senang improvisasi dan bermain dengan suara.
- Menyukai dan mampu bernyanyi.
- Tertarik untuk terjun dan menekuni musik, baik sebagai penyanyi atau pemusik.
- Mampu menganalisis / mengkritik suatu musik.
Profesi:
DJ, musikus, pembuat instrumen, tukang stem piano, ahli terapi musik, penulis
lagu, insinyur studio musik, dirigen orkestra, penyanyi, guru musik, penulis
lirik lagu, dan sebagainya.
6.
Kecerdasan Visual – Spasial
- Senang mencoret-coret, menggambar, melukis dan membuat patung.
- Senang belajar dengan grafik, peta, diagram, atau alat bantu visual lainnya.
- Kaya akan khayalan, imaginasi dan kreatif.
- Menyukai poster, gambar, film dan presentasi visual lainnya.
- Pandai main puzzle, mazes dan tugas-lugas lain yang berkaitan dengan manipulasi.
- Belajar dengan mengamati, melihat, mengenali wajah, objek, bentuk, dan warna.
- Menggunakan bantuan gambar untuk membantu proses mengingat.
Profesi:
insinyur, surveyor, arsitek, perencana kota, seniman grafis, desainer interior,
fotografer, guru kesenian, pilot, pematung, dan sebagainya.
7.
Kecerdasan Kinestetik – Jasmani
- Merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan dalam menggunakan tubuh kita secara trampil untuk mengungkapkan ide, pemikiran, perasaan, dan mampu bekerja dengan baik dalam menangani objek.
- Memiliki kontrol pada gerakan keseimbangan, ketangkasan, dan keanggunan dalam bergerak.
- Menyukai pengalaman belajar yang nyata seperti field trip, role play, permainan yang menggunakan fisik.
- Senang menari, olahraga dan mengerti hidup sehat.
- Suka menyentuh, memegang atau bermain dengan apa yang sedang dipelajari.
- Suka belajar dengan terlibat secara langsung, ingatannya kuat terhadap apa yang dialami atau dilihat.
Profesi:
ahli terapi fisik, ahli bedah, penari, aktor, model, ahli mekanik / montir,
tukang bangunan, pengrajin, penjahit, penata tari, atlet profesional, dan
sebagainya.
8. Kecerdasan Naturalis
8. Kecerdasan Naturalis
- Suka mengamati, mengenali, berinteraksi, dan peduli dengan objek alam, tanaman atau hewan.
- Antusias akan lingkungan alam dan lingkungan manusia.
- Mampu mengenali pola di antara spesies.
- Senang berkarir di bidang biologi, ekologi, kimia, atau botani.
- Senang memelihara tanaman, hewan.
- Suka menggunakan teleskop, komputer, binocular, mikroskop untuk mempelajari suatu organisme.
- Senang mempelajari siklus kehidupan flora dan fauna.
- Senang melakukan aktivitas outdoor, seperti: mendaki gunung, scuba diving (menyelam).
Profesi:
dokter hewan, ahli botani, ahli biologi, pendaki gunung, pengurus organisasi
lingkungan hidup, kolektor fauna / flora, penjaga museum zoologi / botani dan
kebun binatang, dan sebagainya.
Kita semua
berbeda karena kita semua memiliki kombinasi kepandaian yang berbeda. Bila kita
mampu mengenalinya, saya kira kita akan mempunyai setidaknya sebuah kesempatan
yang bagus untuk mengatasi berbagai masalah yang kita hadapi di dunia.
XIV.
Cooperative Learning
Cooperative
Learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau
perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur
kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih.
Dimana pada tiap kelompok tersebut terdiri dari siswa-siswa berbagai tingkat
kemampuan, melakukan berbagai kegiatan belajar untuk meningkatkan pemahaman
mereka tentang materi pelajaran yang sedang dipelajari. Setiap anggota kelompok
bertanggung jawab untuk tidak hanya belajar apa yang diajarkan tetapi juga
untuk membantu rekan belajar, sehingga bersama-sama mencapai
keberhasilan. Semua Siswa berusaha sampai semua anggota kelompok berhasil
memahami dan melengkapinya. Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk
mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran yaitu Hasil belajar
akademik, penerimaan terhadap perbedaan individu, dan pengembangan keterampilan
sosial.
Prinsip
model pembelajaran kooperatif yaitu 1) saling ketergantungan positif; 2)
tanggung jawab perseorangan; 3) tatap muka; 4) komunikasi antar anggota; dan 5)
evaluasi proses kelompok (Lie, 2000).
Manfaat dari Cooperative Learning antara lain: meningkatkan aktivitas belajar
siswa dan prestasi akademiknya, membantu siswa dalam mengembangkan
keterampilan berkomunikasi secara lisan, mengembangkan keterampilan sosial
siswa, meningkatkan rasa percaya diri siswa, membantu meningkatkan hubungan
positif antar siswa.
Model
pembelajaran kooperatif memiliki basis pada teori psikologi kognitif dan teori
pembelajaran sosial. Fokus pembelajaran kooperatif tidak saja tertumpu pada apa
yang dilakukan peserta didik tetapi juga pada apa yang dipikirkan peserta didik
selama aktivitas belajar berlangsung. Informasi yang ada pada kurikulum tidak
ditransfer begitu saja oleh guru kepada peserta didik, tetapi peserta didik
difasilitasi dan dimotivasi untuk berinteraksi dengan peserta didik lain dalam
kelompok, dengan guru dan dengan bahan ajar secara optimal agar ia mampu
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Dalam model pembelajaran kooperatif,
guru berperan sebagai fasilitator, penyedia sumber belajar bagi peserta didik,
pembimbing peserta didik dalam belajar kelompok, pemberi motivasi peserta didik
dalam memecahkan masalah, dan sebagai pelatih peserta didik agar memiliki
ketrampilan kooperatif.
@Langkah-langkah
dalam Cooperative Learning
Langkah-langkah pembelajaran cooperative learning dapat dituliskan dalam table
sebagai berikut:
Langkah
|
Indikator
|
Tingkah
Laku Guru
|
Langkah
1
|
Menyampaikan
tujuan dan memotivasi siswa.
|
Guru
menyampaikan tujuan pembelajaran dan mengkomunikasikan kompetensi dasar yang
akan dicapai serta memotivasi siswa.
|
Langkah
2
|
Menyajikan
informasi
|
Guru
menyajikan informasi kepada siswa
|
Langkah
3
|
Mengorganisasikan
siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
|
Guru
menginformasikan pengelompokan siswa
|
Langkah
4
|
Membimbing
kelompok belajar
|
Guru
memotivasi serta memfasilitasi kerja siswa dalam kelompokkelompok belajar
|
Langkah
5
|
Evaluasi
|
Guru
mengevaluasi hasil belajar tentang materi pembelajaran yang telah
dilaksanakan
|
Langkah
6
|
Memberikan penghargaan
|
Guru
memberi penghargaan hasil belajar individual dan kelompok.
|
@
Pengelolaan Kelas Menurut Model Cooperative Learning
1.
Pengelompokan
1.
Kelompok
homogen (Ability grouping) adalah praktik memasukkan beberapa siswa
dengankemampuan yang setara dalam kelompok yang sama.
2.
Pengelompokan
heterogenitas (kemacam-ragaman),dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman
gender, latar belakang sosioekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis.
2.
Semangat
gotong-royong
Dalam proses pembelajaran ini, agar berjalan secara efektif maka semua anggota
kelompok hendaknya mempunyai semangat bergotong royong yaitu dengan cara
membina niat dan semangat dalam bekerja sama yaitu dengan beberapa cara: a.
Kesamaan Kelompok. b. Identitas Kelompok c. Sapaan dan Sorak Kelompok.
1.
Penataan
ruang kelas
Dalam hal ini keputusan guru dalam penataan ruang disesuaikan dengan kondisi
dan situasi ruang kelas dan sekolah. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan
adalah: a) Ukuran ruang kelas, b) Jumlah siswa, c) Tingkat kedewasaan
siswa, f) Pengalaman guru dan siswa dalam melaksanakan metode pembelajaran
gotong royong.
@
Model Evaluasi belajar Cooperative Learning
Dalam model pembelajaran cooperative learning terdapat tiga model evaluasi,
ketiga model evaluasi tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Model
Evaluasi Kompetisi
Pada sistem peringkat jelas menanamkan jiwa kompetitif, karena sejak masa awal
pendidikan formal, siswa dipacu agar bisa menjadi lebih baik dari teman-teman
sekelas, sehingga siswa yang jauh melebihi kebanyakan siswa yang dianggap berprestasi,
yang kemampuannya berada di bawah rata-rata kelas dianggap gagal atau tidak
berprestasi.
1.
Model
Evaluasi
Individual
Dalam sistem ini, sistem siswa belajar dengan pendekatan dan kecepatan yang
sesuai dengan kemampuan mereka sendiri. Anak didik tak bersaing dengan
siapa-siapa, kecuali bersaing dengan diri mereka sendiri. Teman-teman satu
kelas dianggap tidak ada karena jarang interaksi antar siswa di kelas. Berbeda
dengan sistem penilaian peringkat, dalam penyajian individual guru menetapkan
standar untuk setiap murid.
1.
Model
Evaluasi Cooperative Learning
Sistem ini menganut pemahaman homohomini soclus. Falsafah ini
menekankan saling ketergantungan antar makhluk hidup.
Kerjasama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi
kelangsungan hidup. Prosedur sistem penilaian Cooperative
Learning diantaranya adalah tanggung jawab pribadi dan
kelompok. Jadi siswa mendapat nilai pribadi dan nilai kelompok.
XV. WHOLE LANGUAGE
(PENDEKATAN HOLISTIK )
Whole language adalah suatu pendekatan pembelajaran bahasa yang
didasari oleh paham constructivism. Dalam whole language bahasa
diajarkan secara utuh, tidak terpisah-pisah; menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis diajarkan secara terpadu (integrated) sehingga siswa dapat
melihat bahasa sebagai suatu kesatuan.Jika guru berniat menerapkan whole language guru harus memahami dulu komponen-komponen whole language agar pembelajaran dapat dilakukan secara maksimal. Komponen whole language adalah reading aloud, jurnal writing, sustain silent reading, shared reading, guided reading, guided writing, independent reading, dan independent writing. Kelas yang menerapkan whole language merupakan kelas yang kaya dengan barang cetak, seperti buku, majalah, koran, dan buku petunjuk. Di samping itu, kelas whole language dibagi-bagi dalam sudut-sudut yang memungkinkan siswa melakukan kegiatan secara individual di sudut-sudut tersebut. Selanjutnya, kelas whole language menerapkan penilaian yang menggunakan portofolio dan penilaian informal
Whole language adalah dua kata yang telah melalui pengamatan selama pembelajaran berlangsung menjadi simbol munculnya sebuah gebrakan yang mampu mengubah kurikulum seantero dunia. Dua kata yang mempunyai segudang makna (Watson, 1989). Berikut ini adalah berbagi karakteristik whole language menurut beberapa para ahli.
1. Whole language adalah sebuah pandangan positif tentang pembelajar
Konsep whole language beranjak dari pernyataan Dewey tentang hakekat pembelajar. Para penganut whole language berpendapat bahwa pembelajar memilki kekuatan, kesanggupan, dan keinginan untuk belajar. Pembelajar adalah peribadi yang kreatif. Ia mampu menyusun, menciptakan, dan menemukan pemecahan terhadap berbagai persoalan secara aktif. Piaget dan kawan-kawannya telah membuktikan dalam sebuah penelitiannya bahwa anak-anak terlibat secara aktif dalam memahami dunianya dan berusaha mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan dan memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Lebih lanjut Piaget menjelaskan bagaimana anak-anak memahmai suatu konsep, ide, dan moral. Seorang anak tidak menunggu seseorang untuk menstansmisikan pengetahuannya kepada mereka, tetapi mereka belajar melalui aktivitas dan keterlibatan mereka dengan objek-objek di luar dirinya dan menyusun kategori-kategori pemikiran mereka sendiri sementara mereka mengorganisasikan dunianya. Anak-anak berusaha untuk mengembangkan konse-konsep mereka sendiri, yang kadangkala terlihat aneh menurut jalan pikiran orang dewasa.
Para penganut whole language mengakui adanya perbedaan di antara pembelajar, dilihat dari segi budaya, sistem nilai, pengalaman, kebutuhan, minat, dan bahasa. Perbedaan-perbedaan tersebut bersifat personal sebagai refleksi dari keberagaman manusia, bisa juga bersifat sosial sebagai refleksi dari suku-suku, budaya, dan sistem budaya dari kelompok sosial di mana pembelajar berada. Oleh karena itu, guru-guru di kelas whole language menghargai perbedaan di antara para pembelajar. Pembelajar diberi kewenangan untuk bertanggung jawab terhadap apa yang mereka pelajari dan mendapat dukungan penuh dalam mengembangkan dan memenuhi tujuan pembelajarannya.
2. Whole language memberikan penegasan tentang peran guru dalam proses pembelajarn.
Para guru penganut whole language menerima pandangan bahawa guru sebagai mediator yang menyediakan fasilitas kepada pembelajar dalam melaksanakan transaksi dengan duni luar. Guru adalah tenaga profesioanal yang memahami kondisi pembelajar, teori belajar, dan kegiatan belajar mengajar. Mereka mendukung kegiatan pembelajaran tetapi mereka tidak bertindak sebagai pengontrol dalam pembelajara. Mereka dengan tegas menolak definisi yang menyebutkan bahwa guru adalah teknisi yang mengelola berbagai macam teknologi untuk disajikan kepada pembelajar. Meskipun para guru di kelas-kelas whole language adalah yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan para pembelajar, namun mereka tetap memiliki kewenangan dalam merencanakan, mengorganisasikan, dan memilih sumber-sumber belajar yang diperlukan oleh pembelajar.
Di kelas-kelas whole language, guru mengajar dengan dan dari pembelajar, guru hanya menyampaikan pengetahuan kepada pembelajar tetapi juga bersama-sama dengan pembelajar memecahkan berbagai persoalan dan mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan. Para guru penganut whole language menolak model-model pengajaran efektif yang bersifat membatasi karena mereka memandang bahwa mengajar jauh lebih kompleks dan komprehensif dari sekedar menerapakan model-model tertentu.
3. Whole language memandang bahasa sebagai pusat pembelajaran
Keberadaan bahasa disebabkan oleh dua alasan. Pertama, karena manusia sanggup berpikir secara simbolik, mereka mempresentasikan sesuatu dengan sesuatu yang lain, mereka mampu menciptakan sistem-sistem semiotik. Kedua, karena manusia adalah makhluk sosial yang menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi dalam kehidupannya. Komunikasi sosial antarmanusia memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Dengan dua alasan tersebut, jelaslah bahwa bahasa bagi manusia adalah pusat komunikasi dan berpikir. Vigotsky (1978) menunjukkan bahwa manusia menginternalisasi bahasa dari interaksi sosial. Dan Hallidy (1975) menyebut belajar bahasa sebagi “belajar bagaimana memaknai” karena dalam proses belajar bahasa, manusia mempelajari makna sosial bahasa yang terjadi secara simultan, yaitu belajar bahasa, belajar melalui bahasa, dan belajar tentang bahasa.
Baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah, bahasa lisan dan tulis akan lebih baik dan mudah dipelajari dalam akivitas berbahasa yang otentik dan dalam peristiwa berbahasa sesuai dengan fungsi bahasa yang sesungguhnya. Dengan alasan ini maka whole language program menolak pandangan bahwa perkembangan bahasa berawal dari bagian ke keseluruhan. Hal ini berlaku juga untuk aktivitas membaca dan menulis permulaan. Selain itu, pengajaran membaca, menulis, berbicara, dan menyimak tidak terpisah tetapi terpadu.
4. Whole language menerapakan kurikulum ganda
Halliday (1984) menyimpulkan bahwa sebenarnya kita belajar melalui bahasa sementara kita belajar bahasa. Kesimpulan inilah yang mendasari penyusunan kurikulum whole language, yaitu kurikulum ganda, setiap aktivitas, pengalaman, atau unit memiliki kesepakatan dalam pengembangan linguistik dan sekaligus kognitif. Bahasa dan pikiran berkembang, namun pada saat yang bersamaan pengetahuan dan konsep dikembangkan sementara skema dibangun.
Para guru penganut whole language menggunakan unit tematik untuk menerapakan penggunaan kurikulum ganda. Mereka bertindak sebagai “pengamat anak-anak”, memonitor perkembangan bahasa anak-anak pada saat anak-anak atau pembelajar memecahkan persoalan atau menjawab berbagai pertanyaan. Sebenarnya ini bukan hal baru dalam dunia pendidikan karena whole language hanya menegaskan kembali konsep “belajar samabil bekerja” yang dikemukakan oleh Dewey dan Metode Proyek yang dikembangkan oleh Willian Heard Kilpatrick (dalam Goodman, 1989). Namun para penganut whole language memperbaruinya dengan berdasarkan pada teori-teori dari hasil penelitian, dan kolaborasi merupakan hal-hal yang sangat mendasar. Dan istilah whole language itu sendiri memilki dua makan, yakni tidak dibagi/tidak terpisah, dan terpadu.
Pembelajaran whole language mempunyai beberapa strategi dalam pelaksanaannya. Strategi itu antara lain adalah sebagi berikut:
1. Pencelupan (immersion)
Guru menciptakan lingkungan yang memungkinkan pembelajar melaksanakan program celup dalam kegiatan pembelajaran mereka sehari-hari dengan menggunakan: bahasa guru, bahasa teman sebaya, bahasa yang terdapat dalam buku-buku, percakapan informal, bahasa di kelas formal, bahasa yang terdapat dalam lagu-lagu dan berbagai cerita.
2. Demonstrasi/peragaan
Guru secara aktif terlibat dalam peragaan pemakaian bahasa, sebagai sumber pengayaan dan data bagi pembelajar dalam memformulasikan bunyi-bunyi, struktur kalimat, mengembangkan makna, dan memperoleh berbagai konvensi sosial pemakaian bahasa di masyarkat (pragmatic).
Membaca nyaring adalah salah satu aktivitas yang dapat dilakukan oleh guru. Materi bacaan diambildari buku-buku sastra yang bagus dengan struktur bahasa yang sederhana dan dekat dengan bahasa pembelajar, buku-buku cerita dengan struktur yang kompleks pun perlu di pilih. Dengan menyimak bahasa yang terdapat dalam cerita, pembelajar mencoba memproduksi bahasa mereka sendiri dan akhirnya kelak mereka dapat memahani struktur bahasa yang mereka gunakan. Demikian juga ilustrasi dan peristiwa-peristiwa yang dilukiskan dalam buku cerita, meskipun menggunakan struktur bahasa yang kompleks namun semua berada dalam suatu konteks, sehingga memungkinkan pembelajar menangkap maknanya. Strikcklan (1973) membuktikan bahwa program membaca nyaring yang dilaksanakan di taman kanak-kanak mampu meningkatkan kemampuan anak-anak Afrika-Amerika dalam menggunakan bahasa Inggris standar.
Buku-buku alphabet dan buku-buku gambar tanpa kata, buku-buku nonfiksi, lagu-lagu,dan buku-buku yang selaras dengan pengalaman pembelajar, buku-buku dengan berbagai gambar yang indah dan menarik dapat dijadikan bahan untuk kegiatan membaca nyaring di kelas-kelas awal. Buku-buku tersebut juga dapat dijadikan saran untuk melibatkan siswa dalam kegiatan percakapan di antara mereka.
3. Keterlibatan
Pembelajar harus dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pembelajaran. Cambourne menemukan bahwa pembelajar akan senang terlibat dalam kegiatan pembelajaran apabila: a) mereka merasa yakin pada kemampuan mereka sendiri, b) mereka percaya bahwa apa yang dilakukan akan berguna untuk kehidupannya kelas, c) mereka yakin bahwa aktivitas yang dilakukan menyenangkan, dan d) mereka merasa aman, tidak merasa takut jika berbuat kesalahan
Perasaan “aman sangat penting dalam pembelajarn bahasa. Pembelajar yang berbuat kesalahan kemudian ditertawakan atau diejek oleh teman-temannya, atau ditegur, disalahkan oleh guru di hadapan teman-tamannya akan menjadikan ia enggan untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran karena malu dan takut selalu menghantuinya. Di kelas-kelas whole language diharapkan perasaan aman dalam diri pembelajar ini harus dijaga agar pembelajar berani mencoba hal-hal baru yang menantang.
4. Harapan
Dalam program whole language, guru seharusnya memiliki harapan yan tinggi bahwa pembelajar akan dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran selaras dengan pola atau frase perkembangan mereka. Guru harus mengkomunikasikan kepada pembelajar bahwa mereka percaya para pembelajar mampu melaksanakan semua aktivitas pembeljaran. Harapan yang tinggi ini perlu selalu dicanangkan. Namun perlu diingat bahwa harapan-harapan tersebut harus bersifat realistk dan selaras dengan fase perkembangan belajar.
5. Tanggung jawab
Keterlibatan pembelajar dalam kegiatan pembelajaran akan semakin meningkat jika tanggung jawab, aproksimasi, dan respon juga hadir alam kegiatan pembelajaran. Pembelajar harus diberi kesempatan untuk menentukan apa yang mereka pelajari. Tidak seorang pun dapat secara pasti apa yang seharusnya dipelajari kemudian karena lingkungan dan bakat pembelajar menjadi kendalanya. Pembelajar dan lingkungan yang berbeda kemungkinan memiliki kecenderungan belajar yang berbeda. Tanggung jawab adalah tentang kapan dan bagaimana mereka harus belajar.
6. Pemakaian
Belajar bahasa diawali dengan memahami bahasa tersebut, mencoba menggunakannya dan pembelajar juga mempelajari bahasa tersebut pada saat bahasa tersebut digunakan. Ketiga aktivitas tersebut terjadi secara serentak. Ide inilah yang dipraktekkan di kelas whole language. Di kelas-kelas whole language, praktek penggunaan bahasa biasanya dilaksanakan secara terpisah dan ditekankan pada ketepatan respon. Sebaliknya, di kelas whole language praktek penggunaan bahasa dalam konteks yang bermakna lebih ditekankan. Guru melibatkan pembelajar dalam akitivitas pemakaian bahasa.
Kesempatan untuk berbicara di depan kelas merupakan kondisi yang harus selalu diciptakan karena manfaat bagi pembelajar untuk mempelajari aspek-aspek pragmatik dan aspek-aspek lainnya dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa. Untuk mengembangkan kemampuan menggunakan bahasa ini pembelajar memerlukan konteks yang bermakana, misalnya berbicara dengan guru dan kelompok, bermain peran, bercerita, membawa sesuatu dari rumah dan menceritakannya di kelas.
7. Aproksimasi
Aproksimasi sangat penting dalam belajar berbicara. Orang tua biasanya menikmati dan senang mendengarkan ucapan-ucapan seorang anak yang berbicara dengan tata bahasa dan ucapan yang kurang tepat. Orang tua tahu bahwa itu adalah suatu kekeliruan yang merupakan pertanda bahwa ia sedang dalam proses belajar atau pertanda bahwa anak sedang bereksperimen untuk menggunakan bahasa yang jauh lebih kompleks.
Konsep belajar bahasa seperti itulah yang diterapkan di kelas-kelas whole language. Para guru yakin bahwa kekeliruan merupakan hal yang wajar dalam proses belajar bahasa. Kekeliruan yang dibuat oleh pembelajar merupakan pertanda bahwa pembelajar sedang dalam proses belajar,
8. Respon dan umpan balik
Respon dan umpan balik yang diberikan oleh guru memiliki peranan penting dalam proses aproksimasi. Hal ini karena pembelajar yang mencoba menggunakan bahasa dengan menggunakan cara-cara mereka sendiri untuk menemukan makna tidak akan takut berbuat salah. Keterlibatan guru secara aktif dalam percakapan dengan pembelajar dapat menjadi model untuk pengembangan sintaksis, semantik, dan pragmatik. Model-model kebahasaan yang ditampilkan oleh guru dapat membantu pembelajar dalam menumbuhkembangkan kemampuan berbahasa mereka.
Dalam pelaksanaannya, pembelajaran holistik (whole language) mempunyai ciri-ciri tertentu yang antara lain:Respon yang diberikan oleh guru di kelas hendaknya tidak bersifat mengancam dan menakutkan. Artinya respon tersebut tidak boleh menjadikan siswa merasa malu atau takut untuk melakukan kegiatan berbahasa pada tahap berikutnya. Untuk itu respon atau umpan balik yang dibrikan oleh guru hendaknya dikaitkan dengan aktivitas bermakna.
Dalam pelaksanaannya, pembelajaran holistik (whole language) mempunyai ciri-ciri tertentu yang antara lain:
- murid lebih banyak menggauli sastra
- murid merasa semakin senang dalam belajar dan menunjukkan tingkat keterlibatan yang semakin tinggi
- guru berhubungan dengan murid sebagai pembaca dan penulis
XVI. Sustained
Silent Reading
Sustained silent reading adalah kegiatan membaca dalam hati
yang dilakukan oleh siswa. Dalam kegiatan ini siswa diberi kesempatan untuk
memilih sendiri buku atau materi yang akan dibacanya. Pesan yang ingin
disampaikan kepada siswa melalui kegiatan ini adalah :
a. Membaca adalah kegiatan penting yang
menyenangkan;
b. Membaca dapat dilakukan oleh siapa
pun;
c. Membaca berarti kita berkomunikasi
dengan pengarang buku tersebut;
d. Siswa dapat membaca dan
berkonsentrasi pada bacaannya dalam waktu yang cukup lama;
e. Guru percaya bahwa siswa memahami
apa yang mereka baca;
f. Siswa dapat berbagi pengetahuan yang
menarik dari materi yang dibacanya setelah kegiatan sustained silent reading
berakhir.
SELF DIRECTED LEARNING
Kemandirian (self-direction) merupakan konsep
organisasi untuk pendidikan tinggi; dengan demikian kemandirian berkaitan erat
dengan politik pendidikan. SDL memiliki komitmen demokratis terhadap perubahan
posisi dan peran peserta didik di mana peserta didik memegang kontrol yang
lebih besar terhadap dirinya sendiri dalam hal konseptualisasi, perancangan,
pelaksanaan, dan evaluasi belajar serta penetapan cara-cara pemanfaatan sumber
belajar guna proses belajar lebih lanjut.
Independent learning
Konsep ini
mempunyai konotasi belajar dalam keadaan “terisolasi”, atau menggambarkan peserta didik belajar “sendiri” yang seluruh
kegiatannya (menentukan tujuan belajar, isi, usaha, waktu, evaluasi, dan
sebagainya) ditentukan sendiri olehnya. Bantuan dari pihak lain dapat diterima
atau ditolak oleh peserta didik sesuai dengan standar atau kemauan peserta
didik tersebut.
Psychological control
Konsep ini
mengandung konotasi pentingnya arti psychological
independence dalam definisi SDL daripada elemen sosial atau kurikulum.
Konsep ini ada dalam definisi berikut ini: SDL adalah suatu proses mental yang
bertujuan, biasanya disertai dan disokong oleh aktivitas perilaku yang terlibat
di dalam identifikasi dan pencarian informasi. Individu secara sadar menerima
tanggung jawab untuk menentukan keputusan tentang tujuan dan usaha, dan dengan
demikian menjadi agen perubahan pembelajaran bagi diri sendiri.
Spektrum SDL
Spektrum ini
merupakan rentang antara teacher-directed
learning (TDL) sampai SELF DIRECTED-LEARNING(SDL). Pada TDL guru atau
instruktur memilih dan menentukan apa saja yang akan diajarkan (dipelajari oleh
peserta didik), mengapa hal itu perlu dipelajari, bagaimana peserta didik
mempelajari hal tersebut, kapan, di mana, dan untuk golongan umur berapa.
Incidental self-directed learning
PM model ini
dikenalkan pada kursus atau program yang bercirikan TDL, misalnya pada proyek
individual atau kursus singkat.
Teaching students to think independently
Kursus atau
program yang menekankan kemampuan personal dalam kegiatan eksplorasi,
penelusuran, pemecahan masalah (problem
solving) dan aktivitas kreatif (debat, studi kasus, penelitian, percobaan,
dramatisasi, kerja lapangan).
Self-managed learning
Kursus atau
program yang disajikan melalui panduan bejalar di mana peserta didik belajar
secara independen sepenuhnya.
Self-planned learning
Kursus atau
program yang memberi kesempatan sepenuhnya kepada individu untuk merancang aktivitas
belajar dengan tujuan belajar yang telah ditentukan.
Self-directed learning
Kursus atau
program yang memberi kesempatan kepada individu untuk memilih outcome, merancang aktivitas mereka
sendiri dan melaksanakan aktivitasnya sesuai
dengan pilihan mereka.
Manfaat SDL
Dari tahun ke
tahun SDL makin berkembang dan kemudian bergerak dari situasi perifer menuju ke
arus utama pengembangan manajemen dan bisnis. Sebagian besar program
pengembangan saat ini menggunakan elemen SDL dalam rancangan dan pelaksanaan
secara keseluruhan. Secara individual, SDL memiliki daya tarik yang spesifik
misalnya kebebasan yang lebih besar untuk memilih, fleksibel, dan mengakomodasi
individu tentang apa yang dikehendaki olehnya.
Tanggung jawab pendidik dalam konteks SDL
- Pendidik mendorong individu untuk membuat pilihan tentang tujuan yang diinginkan
- Pendidik siap memberi bantuan dalam level perorangan, sesuai dengan permintaan bantuan yang bersifat spesifik
- Pendidik menyediakan materi dan sumber belajar yang diperlukan individu
- Pendidik memberi bimbingan, penyuluhan, dan bantuan individu dalam hal penggunaan sumber belajar agar diperoleh hasil yang paling baik
Untuk individu
yang baru mengenal disiplin PM maka kepada mereka perlu diberikan latihan awal
yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
- Ketrampilan belajar dalam hal perencanaan: apa, kapan, dan bagaimana cara belajar
- Tanggung jawab individu dalam manajemen pengembangan diri
- Mengenal dan memanfaatkan kesempatan untuk belajar dan pengembannya dari hari ke hari
- Menghubungan SDL dengan pekerjaan yang akan ditekuni serta pengembangannya dalam jangka panjang.
- Memilih dan menggunakan materi dan sumber lainnya secara tepat dan efektif
Resistensi pendidik
terhadap SDL
Resistensi
pendidik terhadap SDL bukanlah barang baru. Berbagai macam alasan dilontarkan
oleh para pendidik yang menolak diberlakukannya SDL. Namun demikian, dari
berbagai macam alasan tadi dapat diringkas menjadi dua hal pokok, ialah miskonsepsi
terhadap terminologi SDL dan kesenjangan antara “kepercayaan” yang dianut
dengan kenyataan di dalam praktik mengajar.
Beberapa tips berkenaan
dengan SDL
- Pendidik beralih fungsi, menjadi fasilitator proses belajar dan siap membantu peserta didik, bukan lagi sebagai director of learning.
- Pada awalnya pendidik memberi sedikit pengarahan di dalam kelas, memberi tugas untuk dikerjakan oleh peserta didik, merancang presentasi untuk suatu seminar, dan bersama-sama peserta didik menyusun tujuan belajar di mana peserta didik dapat menambah, merevisi, atau bahkan menolaknya.
- Sebagian besar pendidik mengalami proses yang berulang. Dari pengalaman ini dapat ditarik kesan bahwa pada awalnya para peserta didik mengalami rasa cemas atau ketidakpastian, atau kadang-kadang merasa “tertipu”.
- Peserta didik memerlukan penjelasan secara bertahap tentang SDL, khususnya tentang bagaimana caranya belajar untuk dapat menjadi mandiri dalam belajar. Kepada para peserta didik perlud diberikan catatan tentang filosofi SDL.
- Pada awalnya peserta didik akan merasa canggung, tidak nyaman, dan bahkan bingung; pada saat itu peserta didik mengharapkan para pengajar bertindak sebagai expert.
- Adalah hal biasa apabila pada awal proses pembelajaran ada peserta didik yang mudah marah (uring-uringan) karena mereka belum tahu akan apa yang harus mereka kerjakan. Hal ini dapat diatasi dengan menyediakan instruksi, handout, agenda, atau arahan yang diberikan mingguan.
- Pada awal pembelajaran sangat diperlukan adanya pertemuan dan diskusi antarpeserta didik dan antara peserta didik dengan pengajar tentang situasi belajar yang terasa aneh bagi mereka.
- Peserta didik tertentu dapat merasa sangat canggung dengan situasi pembelajaran yang berlaku sehingga mereka ingin mengundurkan diri dari institusi, Hal ini dapat diatasi dengan penyuluhan secara lisan maupun melalui media cetak.
- Secara bertahap para peserta didik diberi kebebasan (otonomi) yang lebih besar dan diberi hak untuk menentukan keputusan oleh mereka sendiri; semuanya dalam koridor deadlines for assignments.
- SDL melibatkan pengetahuan dan pengalaman terdahulu. Dengan perkataan lain, SDL memerlukan prior knowledge dan prior experience.
- Self-evaluation merupakan bagian penting dalam pelaksanaan SDL karena self-evaluation merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan professional dan sangat diperulakn untuk life long learning.
Ringkasan
SELF DIRECTED
LEARNING merupakan proses pembelajaran yang menuntut peserta didik menjadi
subyek yang harus merancang, mengatur dan mengontrol kegiatan mereka sendiri
secara bertanggung jawab. Hal ini bertolak belakang dengan prinsip pembelajaran
yang disebut sebagai teacher-directed
learning. Namun demikian, institusi pendidikan tetap bertanggung jawab
sepenuhnya, baik secara teknis, fisik, dan moral, terhadap seluruh program
pendidikan yang ditawarkan kepada para peserta didik.
SDL menuntut
peserta didik untuk menentukan tujuan belajar mereka sendiri, merancang strategi untuk mencapai tujuan
belajar, dan kemudian merancang metoda evaluasi terhadap hasil belajar yang
telah mereka capai. Tujuan belajar merupakan hal yang sulit untuk dirancang
sehingga pengajar atau instruktur harus membantu peserta didik dalam
perancangan tujuan belajar.
SDL memerlukan
negosiasi dalam perancangan pembelajaran secara keseluruhan. Perancangan
pembelajaran ini merupakan alat yang fleksibel tetapi efektif untuk membantu
peserta didik dalam penentuan tujuan belajar secara individual. Tanggung jawab
peserta didik dan pengajar harus dibuat secara eksplisit dalam perancangan
pembelajaran. Partisipasi para peserta didik dalam penentuan tujuan belajar
akan membuat mereka menjadi committed
terhadap proses pembelajaran.
Metode alami (Natural Method) disebut demikian karena dalam proses belajar, siswa dibawa ke alam seperti halnya pelajaran bahasa ibu sendiri
Dalam pelaksanaannya metode ini tidak jauh berbeda dengan metode langsung (direct) dimana guru menyajikan materi pelajaran langsung dalam bahasa asing tanpa diterjemahkan sedikitpun, kecuali dalam hal-hal tertentu di mana kamus dan bahasa anak didik dapat digunakan.
Ciri Metode Natural ini antara lain :
Urutan pelajaran mula-mula diberikan melalui menyimak/mendengarkan (listening) baru kemudian percakapan (speaking), membaca (reading) menulis atau (writing) terahir baru gramatika
Pelajaran disajikan mula-mula memperkenalkan kata-kata yang sederhana yang telah diketahui oleh anak didik, kemudian memperkenalkan benda-benda mulai dari benda-benda yang ada di dalam kelas, dirumah dan luar kelas, bahkan mengenal luar negeri atau negara-negara asing terutama Timur Tengah.
Alat peraga dan kamus yang dapat digunakan sewaktu-waktu sangat diperlukan, misalnya untuk menjelaskan dan mengartikan kata-kata sulit dalam bahasa asing, dan memperbanyak perbendaharaan kata-kata atau memperkaya Vocabulary sebagai syarat utama menguasai bahasa asing
Oleh karena kemampuan dan kelancaran membaca dan bercakap-cakap sangat diutamakan dalam metode ini maka pelajaran gramatikal (tata bahasa) kurang diperhatikan
Kebaikan Metode Natural
Kebaikan metode ini antara lain :
Pada tingkat lanjutan metode ini sangat efektif, karena setiap individu siswa dibawa ke dalam suasana lingkungan sesungguhnya untuk aktif mendnegarkan dan menggunakan percakapan dalam bahasa asing
Pengajaran membaca dan bercakap-cakap dalam bahasa asing sangat diutamakan, sedangkan pelajaran gramatika diajarkan sewaktu-waktu saja
Pengajaran menjadi bermakna dan mudah diserap oleh siswa, karena setiap kata dan kalimat yang diajarkan memiliki konteks (hubungan) dengan dunia (kehidupan sehari-hari) siswa/anak didik
Segi kekurangan metode ini antara lain
:
Siswa merasa kesulitan belajar apabila belum memiliki bekal dasar bahasa asing terutama pada pada tingkat-tingkat pemula, sehingga penggunaan/ pemakaian bahasa asli siswa tidak dapat dihindari. Dengan demikian tujuan semua dari metode ini untuk membaca dan bercakap-cakap selalu dalam bahasa asing sulit diterapkan secara murni, tapi harus diterapkan secara konsekuen
Pada umumnya anak didik dan guru bersikap tradisional mengutamakan gramatika lebih dahulu daripada membaca dan percakapan sesuatu hal yang salah secara alamiah yang amat perlu diubah
Pada umumnya pengajaran bahasa asing di sekolah-sekolah kita sangat terasa kekurangan macam-macam media/alat peraga yang diperlukan; yang seyogyanya para guru harus aktif membuatnya
Guru yang kurang memiliki kemampuan dan pengalaman praktis dalam berbahasa asing merupakan faktor sulitnya diterapkan dan berhasil secara baik metode tersebut. Guru haruslah seorang yang aktif berbicara di dalam bahasa asing tersebut, barulah murid-muridnya akan mampu pula aktif di dalam belajar (praktek) bahasa.
Siswa merasa kesulitan belajar apabila belum memiliki bekal dasar bahasa asing terutama pada pada tingkat-tingkat pemula, sehingga penggunaan/ pemakaian bahasa asli siswa tidak dapat dihindari. Dengan demikian tujuan semua dari metode ini untuk membaca dan bercakap-cakap selalu dalam bahasa asing sulit diterapkan secara murni, tapi harus diterapkan secara konsekuen
Pada umumnya anak didik dan guru bersikap tradisional mengutamakan gramatika lebih dahulu daripada membaca dan percakapan sesuatu hal yang salah secara alamiah yang amat perlu diubah
Pada umumnya pengajaran bahasa asing di sekolah-sekolah kita sangat terasa kekurangan macam-macam media/alat peraga yang diperlukan; yang seyogyanya para guru harus aktif membuatnya
Guru yang kurang memiliki kemampuan dan pengalaman praktis dalam berbahasa asing merupakan faktor sulitnya diterapkan dan berhasil secara baik metode tersebut. Guru haruslah seorang yang aktif berbicara di dalam bahasa asing tersebut, barulah murid-muridnya akan mampu pula aktif di dalam belajar (praktek) bahasa.
PENGAJARAN BAHASA DENGAN METODE SILENT WAY,
- Pendahuluan
Hipotesis-hipotesis pembelajaran yang mendasari metode Gattegno ini adalah:
- Pembelajaran dipermudah jika si pembelajar mendapatkan atau menciptakan hal baru dibandingkan dengan mengingat dan mengulang apa yang harus dipelajari.
- Pembelajaran dipermudah dengan menggunakan objek fisik.
- Pembelajaran dipermudah dengan pemecahan masalah yang melibatkan materi yang diajarkan.
Silent Way juga dikaitkan dengan serangkaian premis yang disebut sebagai “pendekatan-pendekatan problem solving pada pembelajaran”. Premis-premisnya ini terwakili oleh ucapan Benjamin Franklin:
Tell me and I forget
Teach me and I remember,
Involve me and I learn
- Prinsip-Prinsip Dasar Silent Way dalam Pengajaran Bahasa
Gattegno mengusulkan artificial approach yang didasarkan pada prinsip bahwa pembelajaran yang berhasil melibatkan sebuah komitmen diri pada pemerolehan bahasa melalui kesadaran dan uji coba aktif. Penekanan Gattegno yang berulang-ulang pada lebih pentingnya pembelajaran daripada pengajaran, menempatkan komitmen dan prioritas diri pembelajar sebagai fokus.
Diri yang dimaksud di sini terdiri atas dua sistem, yaitu sistem pembelajaran dan sistem pemerolehan. Sistem Pembelajaran diaktifkan oleh kesadaran intelegensi. Silence dianggap sebagai cara yang terbaik untuk pembelajaran, karena dengan silence para pembelajar berkonsentrasi pada tugas yang diselesaikan dan cara-cara potensial untuk penyelesaiannya. Silence, yang menghindari pengulangan, menjadi alat bantu bagi kesadaran, konsentrasi, dan kesiapan mental.
Sistem Pemerolehan memungkinkan kita untuk mengingat unsur-unsur bahasa dan prinsip-prinsipnya, dan memungkinkan komunikasi bahasa berlangsung. Pemerolehan dengan upaya mental, kesadaran, dan kebijaksanaan lebih efisien daripada pemerolehan melalui pengulangan mekanis.
Kesadaran dapat diajarkan. Ketika seseorang belajar ‘secara sadar’, kekuatan kesadaran seseorang dan kapasitasnya untuk belajar menjadi lebih besar. Karena itu,
Tetapi Silent Way bukanlah semata-mata sebuah metode pengajaran bahasa. Gattegno melihat pembelajaran bahasa melalui silent way sebagai pengembalian potensi dan kekuatan diri. Tujuan Gattegno bukanlah sekedar pembelajaran bahasa kedua, melainkan pendidikan untuk kepekaan dan kekuatan spiritual individu.
Tujuan umum
- Penutup
Pendeknya menurut saya, mengajar sebuah bahasa dengan silent way rasanya seperti memimpin sebuah tim penyelidik dalam sebuah perjalanan menuju pencarian hal baru. Seperti detektif, para siswa berusaha memecahkan setiap teka-teki yang mereka temukan dan ketika mereka menggabungkannya, mereka menjadi sama yakinnya dengan guru mereka dalam penguasaan bahasa baru tersebut.
Community Language Learning
The
Community Language Learning is the method which are use by the teachers to
consider their students as ‘whole persons’. Whole person means that teachers
consider not only their students intellect, but also have some understanding of
the relationship among students feelings, physical reactions, instinctive
protective reactions, and desire to learn. The teachers who use this method
want their students to learn how to use the target language communicatively.
They focuces not only on the language but also on the being supportive of
learners in their learning process. In the class, the teachers become
counselor. It is doesn’t mean the teachers trained their students in
psychology. In this method, the teachers use tape-recorded, transcription,
reflection on experience, reflective listening, human computer, and small group
tasks to see our ‘whole persons’. With use tape-recorded, they can learn about
conversation easily. The teacher give them some ‘chunks’ on the transcript,
they must repeat it with her. In this method, the teachers use small groups to
help the students can get more practice with the target language and allow them
to get to know each other better
Lexical Approach
In creating the pedagogical materials for Français interactif, the developers decided to move away from the traditional grammatical syllabus and adopt features of the Lexical Approach instead.Types of Lexical Units
Lewis also suggests that Native speakers have a large inventory of lexical chunks that are vital for fluent production. Chunks include collocations and fixed and semi-fixed expressions and idioms. Fluency does not depend on a set of generative grammar rules and a separate store of isolated words, but on the ability to rapidly access this inventory of chunks. These chunks occupy a crucial role in facilitating language production and are the key to fluency. Two points to remember about lexical chunks: learners are able to--
- comprehend lexical phrases as unanalyzed wholes or chunks.
- use whole phrases without understanding their constituent parts.
Taxonomy of Lexical Items (Lewis, 1997)
Lexical Item
|
Examples
|
words
|
book, pen
|
polywords
|
by the way, upside down
|
collocations
|
prices fell, rancid butter
|
institutionalized utterances
|
I'll get it; That'll do
|
sentence frames and heads
|
That is not as [adjective]
as you think;
The danger was... |
text frames
|
In this paper we will
explore...; Firstly...
|
Lexis in Language Teaching and Learning
The language activities consistent with the lexical approach must be directed toward naturally occurring language and toward raising learners' awareness of the lexical nature of language. Activites of this nature include the following:- intensive and extensive listening and reading in the target language
- first and second language comparisons and translation
- repetition and recycling of activities to keep words and expressions that have been learned active
- guessing the meaning of vocabulary items from context
- noticing and recording language patterns and collocations
- working with dictionaries and other reference tools
- working with language corpuses to research word partnerships, preposition usage, style, and so on
Reviews of empirical research find that NLPs core tenets are poorly supported.The balance of scientific evidence reveals NLP to be a largely discredited pseudoscience. Scientific reviews show it contains numerous factual error and fails to produce the results asserted by proponents.According to clinical psychologist Grant Devilly (2005),NLP has had a consequent decline in prevalence since the 1970s. Criticisms go beyond lack of empirical evidence for effectiveness, saying NLP exhibits pseudoscientific characteristics, title, concepts and terminology as well.NLP serves as an example of pseudoscience for facilitating the teaching of scientific literacy at the professional and university level. NLP also appears on peer reviewed expert-consensus based lists of discredited interventions.In research designed to identify the "quack factor" in modern mental health practice, Norcross et al. (2006) list NLP as possibly or probably discredited for treatment of behavioural problems. Norcross et al. (2010) list NLP in the top ten most discredited interventions and Glasner-Edwards and Rawson (2010) list NLP therapy as "certainly discredited".
TECHNIQUE
According to one study by Steinbach, a classic interaction in NLP can be understood in terms of several major stages including establishing rapport, gleaning information about a problem mental state and desired goals, using specific tools and techniques to make interventions, and integrating proposed changes into the client's life. The entire process is guided by the non-verbal responses of the client. The first is the act of establishing and maintaining rapport between the practitioner and the client which is achieved through pacing and leading the verbal (e.g. sensory predicates and keywords) and non-verbal behaviour (e.g. matching and mirroring non-verbal behaviour, or responding to eye movements) of the client.
Once rapport is established, the practitioner may gather information (e.g. using the Meta-Model questions) about the client's present state as well as help the client define a desired state or goal for the interaction. The practitioner pays particular attention to the verbal and non-verbal responses as the client defines the present state and desired state and any "resources" that may be required to bridge the gap.The client is typically encouraged to consider the consequences of the desired outcome, and how they may affect his or her personal or professional life and relationships, taking into account any positive intentions of any problems that may arise (i.e. ecological check). Fourth, the practitioner assists the client in achieving the desired outcomes by using certain tools and techniques to change internal representations and responses to stimuli in the world. Finally, the changes are "future paced" by helping the client to mentally rehearse and integrate the changes into his or her life.For example, the client may be asked to "step into the future" and represent (mentally see, hear and feel) what it is like having already achieved the outcome.
According to Stollznow (2010), "NLP also involves fringe discourse analysis and "practical" guidelines for "improved" communication. For example, one text asserts "when you adopt the "but" word, people will remember what you said afterwards. With the "and" word, people remember what you said before and after."
Terimakasih yaa...
BalasHapusSIS.. ADA BUKUNYA TENTANG TOTAL WOED TECHNIQUE IN READING SKIIL GAK,,, AKU MAU BELI.... KALO ADA TOLONG HUB SAYA YAH... (08990088141) PIN: 7EABF203 .. SYUKRON UKHTII
BalasHapusmakasih atas infox,,izin copy yah kak...:-)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus